Senin, 15 Desember 2008

(1) KANGEN

tahukah kamu aku pernah meneleponmu
meski terpaksa harus ubah suara dan nama palsu
sungguhkah kamu sedih saat itu
waktu kukabarkan ajal meregang karena rindu

Makassar 09022004

(2) KANGEN

senja datang menjemput langkah para musafir
memasuki malam, memasuki liang masa berselubung rahasia
dimanakah kegelapan menyekapmu?
mendadak rindu dan putus asa menjadi lagu pengantar lena

Makassar 09022004

(3) KANGEN

Kau menggenangiku air mata kerinduan
Kau menggenangi jalan-jalan, kota-kota, siang dan malam
Mengendapkan kegelisahan di ceruk-ceruk jiwa
Menghanyutkan kesedihan ke setiap kenangan
Musim pun berubah, air mata kerinduan tetap menggenang
Kian meluap dan mengalir menjadi sungai
Sungai air mata kerinduan
Jauh ke muara
Muara air mata kerinduan
Hingga ke samudera
Samudera air mata kerinduan

Aku terus berlayar mengarungi samudera air mata kerinduanmu, menuju matahari

Makassar 09022004

(4) KANGEN

siapa pemilik tangis tengah malam itu
tak pernah kudengar kesedihan serupanya
seolah itu adalah kesedihan terakhirnya
setelah itu bahagia selamanya

seperti itukah kesedihan seorang kekasih
dalam penantiannya di bumi
menyimpan rindunya sebagai matahari
dan doanya telah menggantikan kehadiran rembulan

Makassar 09022004

(5) KANGEN

engkau pun sendu bergemuruh
saat rindu memeluk auramu
duhai sukma yang entah kemana
seketika hujan baluri tanah dan nisan

Makassar 11022004

Minggu, 07 Desember 2008

BINTANG BICARA TENTANG CAHAYA

berpikirlah seperti rembulan
agar kau tahu arti kegelapan
jangan ejakan kata cahaya pada bintang
atau jutaan makna akan dibahasnya
hingga kau malu untuk berselubungkan cahayamu

Makassar 17012002

DOA SANG PENGKHIANAT

Ilahi…
Sujudku malam itu dalam shalatku
Seperti khusu’nya para wali-Mu
Harapan-harapan yang mengisi doaku
Adalah doa syuhada para pejuang-Mu
Air mata yang mengalir dalam linangan tangisku
Adalah taubat nasuhah para pencinta-Mu

Ya Ilahi…
Demi nama para wali-Mu
Jangan biarkan bara api menyentuh dahiku
Yang hanya bersujud pada-Mu
Yang hanya menunduk pada-Mu
Yang hanya menyembah Dzat-Mu

Ya Ilahi…
Demi doa para syuhada-Mu
Jangan beri rasa sakit saat roh meninggalkan jasadku
Yang hanya menjadi abid pada-Mu
Yang hanya menjadi amil di jalan-Mu
Yang hanya menjadi amir di restu-Mu

Ya Ilahi…
Demi tangis para pencinta-Mu
Jangan biarkan keluh menghinggapi lidahku
Yang hanya bertasbih pada-Mu
Yang hanya bertahmid pada-Mu
Yang hanya bertahlil pada-Mu
Menyeru Asma Suci-Mu

Ya Ilahi…
Demi para Utusan-Mu
Beri aku kematian
Seperti kematian para Nabi-Mu

Sabtu, 06 Desember 2008

SAKARAT EL-MAUT


berpetalah pada gelisah
yang meretas jejak ruhiah
melepas jasad tengah rebah
pada kalimat La Ilaha illallah

Makassar 17012002

PELAYARAN INI


jika geladak telah sepi
berbisiklah pada angin yang membelai layar
jangan kau keringkan peluh nakhoda
hingga darat menjelang di ufuk buritan

Makassar 17012002

TENTANG CAHAYA

tuli bisukah dirimu?
hingga tak dengar dan jawab
ketukanku di jendela bilik hatimu
atau kau telah menolak cahaya mentari
yang hendak mengurai mendung hari kemarin


Makassar 17012002

Jumat, 05 Desember 2008

KITA; KARANG DAN OMBAK


sebab aku hanya punya satu cinta
mengapa tak kau jelas hasratmu
atau karang tak lagi jadi milik ombak
dan ombak tak segarang dirinya

Makassar 17012002

EKSPLOITASI

Demi cinta yang bersemayam dalam jiwa
Demi amarah yang akan membakar jenazahku
Kuhambakan jasadku padamu

Makassar 17012002

(2) OPERA


seorang lelaki berlatar kehidupan
bernyanyi di himpitan takdir
seorang perempuan berkostum kematian
lalu cinta dan kendala; tragedi

Makassar 10022004

(1) OPERA


asalkan kau terus menari dalam pikiranku
untuk aku dan birahi
cerita tak kan pernah kehabisan pentas
dunia pun bersorak puas, ada juga kecewa

Makassar 10022004

Selasa, 02 Desember 2008

GEMA UNTUKMU YANG MENANGIS

Aku menjadi gema di malam engkau menangis
Menyusupi udara yg menggetarkan lidah-lidah api dari lilin dan kegelapan
Tangan-tangan malam menyeretku hingga tersisa hanya sayup-sayup
Huruf terakhir namamu pun telah terpenjara dalam beku
Wahai lidah-lidah api dari lilin dan kegelapan
Dan untukmu yang menangis di malam itu
Dalam gema yang tak lagi bergema
Cinta tetap tak mampu kueja

Makassar 23012004

Minggu, 30 November 2008

(4) KELAHIRAN KEMBALI

inikah neraka sesungguhnya
atau sama sekali surga yang tiada terduga
dimanakah aku berada
engkaukah itu ibu

Makassar 06022004

(2) KELAHIRAN KEMBALI

malam pun bergetar hadirkan sunyi
saat doa-doa mengalir larut, hanyut dalam gelisah
kukenali lagi seluruh tubuhku
masih sekumpulan dosa berwujud manusia

Makassar 06022004

(1) KELAHIRAN KEMBALI

sepanjang waktu yang berputar dalam lingkaran hidupku
sejauh jarak lahir dan dewasaku
aku terus bertanya siapa aku
esok pun masih ragu memberi jawab

Makassar 06022004

Sabtu, 13 September 2008

CINTA PARA PENCINTA


Mereka tidak tahu siapa yang memulai
Tapi mereka tahu mereka saling mencintai
Keberpaduan layak sepasang jiwa
Keberpaduan unsur jamaliyah dan kamaliyah


“Ini terlalu mudah, sayangku. Cinta sangat berpihak pada kita, tak ada halangan berarti.”
Ia melempar kerikil ke danau tenang, kerikil itu langsung tenggelam, ia gagal membuatnya memantul beberapa kali di permukaannya. Dia terlihat kecewa.
“Bukankah kita yang menciptakan jalan ini? Atau kau telah lelah menjalaninya?”
Gadis itu menelungkupkan tubuh, lalu menekuni kembali bacaannya. Tapi ia telah terusik dengan perkataan kekasihnya.
“Aku tidak butuh tantangan, sayang. Aku hanya merasa aneh dengan semua kewajaran ini. Terlalu mudah buat kita”
Gadisnya terdiam, mungkin berusaha merangkum kembali serakan konsentrasinya. Kini dia merayapi kesepiannya sendiri. Ini pertama kali dia merisaukan hubungan cintanya.
Dia tidak ingin mendustai hatinya. Tujuh tahun bukan masa yang singkat untuk berpacaran. Selama itu mereka tak pernah didera persoalan yang mengancam hubungan mereka. Dia merunut awal kebersamaan mereka. Perkenalan dengan Anisa nyaris tanpa kesan. Hanya keseringan bertemu membuat perhatian itu hadir diantara mereka. Mereka saling mencintai, tapi tak melalui pengungkapan rasa. Secara sadar mereka tahu bahwa mereka saling membutuhkan. Secara sadar mereka tahu kalau diantara mereka ada keberpaduan jiwa yang tak harus diungkapkan. Syarat telah terpenuhi. Keberpaduan wajar yang hampir biasa-biasa saja. Bahkan kapan tepatnya mereka mulai menjalinnya, mereka sendiri tak pernah tahu. Mereka hanya tahu ada proses yang telah mereka lewati hingga tiba pada titik kesepakatan hati.
“Mungkin engkau butuh sedikit keajaiban”
Setelah dulu dia tak pernah bertanya, kini dia mulai merasa kalau cinta yang wajar-wajar ini menggelisahkan. Memang cinta yang mereka jalani agak aneh. Orang tua Anisa bahkan merestui hubungan mereka, meski ada strata sosial yang sangat jauh berbeda. Dia ingat, betapa dulu Anisa sangat khawatir mempertemukannya dengan orang tuanya. Tapi ketika pertemuan itu terjadi, semua berjalan lancar penuh harmoni. Tak seperti kisah Romeo dan Juliet.
“Dengan apa kau lunakkan hati yang membatu itu!!”
Memang cinta yang mereka jalani agak aneh. Tak ada riak-riak kecilpun yang membuatnya bergoyang. Sungguh dia sangat mencintai kekasihnya dan diapun tahu sebaliknya. Tapi kali ini dia hanya ingin bertanya….
“Mungkin engkau butuh sedikit keajaiban”
“Ya. Buatlah aku sedikit cemburu”
Tapi dia tak pernah bisa mencemburui apapun. Dia sangat tahu kadar cinta Anisa kepadanya. Dan Anisa pun tak pernah bisa mencoba membuatnya cemburu. Selama ini mereka sangat bahagia, bahkan saat menangis.
“Andai kenikmatan badani tak mengotori hati, akan kutekuk belikatku untukmu”
“Takkan kucederai rusukku dengan penetrasi singkat!”
Dia mencintai Anisa dengan meletakkan birahi dalam pasungan akal, lalu membunuhnya secara perlahan-lahan. Mensucikan dan mewangikan batinnya. Dia sangat mencintai Anisa. Tapi kali ini dia hanya ingin bertanya….


Dia menggelengkan kepala. Pertanyaan ini tak layak diutarakan kepada Anisa. Dia tercenung gelisah mengetahui pertanyaannya akan sulit terjawab. Dia harus mencari sendiri jawaban dari pertanyaannya. Dia membuat riak kecil air danau dengan puntung rokok dan merambati udara dengan asap yang dihembusnya bersama dengusan. Batang kretek itu bukanlah teman berkontemplasi sesungguhnya. Dia melukis sebuah ilustrasi di permukaan danau. Lingkaran yang saling berlomba untuk menjadi besar, lalu menenggelamkan dirinya dalam lingkaran terakhir, menggapai lubuknya dan bermeditasi. Sebuah jawaban menggelembung bersama sebuah pertanyaan baru.
“Tuhan memiliki rencana besar di balik kewajaran ini”
“Ya, Tuhan. Rencana besar apa yang Engkau siapkan buat kami?”
Dan menciptakan sesak parah di dada. Kini yang dia butuhkan adalah oksigen.


“Mungkin sudah saatnya kita membuat erat ikatan ini”
Anisa mengusaikan bacaannya dan membuyarkan pengaruh oksigen dalam dadanya. Dia sesak lagi. Terkejut dan bahagia.
“Aku mencintaimu dan sangat ingin menjadikanmu mempelai lahir batinku. Hanya saja kebingungan menguasai pikiranku.”
Dia menggumpalkan nafas dalam dada, lalu menjadikannya kristal yang berkilau. Tak lagi dihembuskan, tapi diurainya melalui sudut mata. Tangis kebahagiaan. Kebahagiaan yang membingungkan.
“Selama ini kita saling berbagi, walau itu kebingungan.”
Anisa menyentuh tangannya, mengalirkan kekuatan untuk berbagi.
“Dalam cinta kita ada keterlibatan satu kekuatan besar yang meletakkan kita pada kebersamaan yang bermoral. Kekuatan yang mengatur awal dan akhirnya, kekuatan yang Mahaberkehendak dan tetap merahasiakan kehendaknya itu pada kita.”
“Engkau mengisahkan ini seolah ini adalah misteri.”
“Ya. Misteri yang menyelimuti masa depan. Tak ada yang mampu menjamin kebersamaan ini untuk selamanya.”
Dia mendesahkan selaksa kegelisahan pada angin. Betapa berat beban yang ditanggung oleh angin atas kegelisahan itu.
“Dan kematian menjadi media yang paling pasti membelah kebersamaan kita.”
Dia rasakan debar jantung Anisa meningkat. Dia menginterpretasinya sebagai kecemasan. Cinta bahkan berbagi kecemasan.



Elegi….
Nadanya tangis dan jerit
Lagu jiwa tak berdaya
Hadapi takdirnya



Dia masih berdiri di tepi danau, menatap jauh ke seberang. Dia lihat seorang lelaki tua begitu sabar menanti kailnya disentuh oleh ikan. Sebuah pemandangan yang sangat berharga. Lama dia terpaku di sana. Dia sadar tak mampu sesabar lelaki tua pencari ikan. Betapa sulit menerima kenyataan bahwa dia bukan lelaki yang tegar menghadapi perpisahan. Betapa pedihnya mengetahui mereka akan terpisah oleh kematian, sedang dia tak pernah ingin melerai jiwa yang telah satu. Dia tak ingin kebersamaan mereka dibayangi kematian yang mungkin tragis. Dia mendesah. Tak seharusnya dia memiliki perasaan yang berlebihan dan skeptis. Dia menunduk, meraih sebutir kerikil dan melemparkannya ke tengah danau. Kerikil itu langsung tenggelam. Dia gagal membuatnya memantul beberapa kali.
“Andai kita bisa bermasa bodoh dan menganggap ini bukanlah hal yang besar?”
Anisa memecah kebekuan di antara mereka. Dia tahu Anisa lebih menawarkan ketakutannya daripada solusi.
“Kita mungkin bisa melakukannya. Tapi apakah kita mampu menjalani kebersamaan dalam bayang-bayang kematian? Andai besok salah seorang di antara kita mati dan seorang lagi hidup sebagai sentenarian, apakah jiwa kita mampu menahan pedihnya perpisahan dan jauhnya jarak masa yang ditempuh hingga jiwa kita berpadu kembali di alam lain? Aku tak ingin jiwa kita dipisahkan oleh kematian…”
Dia dekap kegelisahannya. Perasaan cinta membuatnya tak tega meninggalkan kepedihan bagi kekasihnya. Betapa merananya jiwa yang sendiri menanggung perpisahan.
“Aku takut menghadapi saat itu. Aku takut kematian menjauhkanmu dari aku. Akupun takut pada apa yang ada dalam dirimu kini. Dulu kau tak pernah memiliki kebencian pada sesuatu, kini nada suaramu menyiratkan kebencian yang sangat pada kematian…”
“Kebersamaan cinta tak seharusnya memberikan ketakutan dan kebencian pada kematian. Sekarang ketakutan dan kebencian itu datang menjajah kuasai perasaan kita dan mungkin akan menyeret kita menuju dosa, memaki takdir dan menyalahkan Tuhan. Kematian bukanlah musuh yang harus ditakuti dan dibenci. Tapi kebersaan cinta telah menjadikan kita pecundang yang tak kuasa mengikhlaskan kepergian kekasihnya walau sesaat dan terus mereka-reka waktu pertemuan kembali. Kitalah jiwa yang sakit. Jiwa yang menderita fobia pada kematian. Kita tak seharusnya berada pada sisi itu.”
”Hinalah kita yang menafikan kematian dengan mengatasnamakan cinta.”
Anisa menangis. Satu ketakutan dapat meluruhkan seluruh cinta yang dimiliki. Satu ketakutan dapat menggusur cinta yang selama ini bersemayam dalam dada dan merubahnya menjadi sekedar kefanatikan pada dunia.
“Andai rahasia alam telah terkuak dan kita tahu jiwa kita tetap satu di kehidupan setelah kematian, kita takkan tersesat dalam dilema ini, dalam keingintahuan pada rencana besar yang Tuhan siapkan bagi kita. Barang kali Tuhan menyatukan kita dalam kebersamaan di dunia ini tapi akan memisahkan kita di alam setelah kematian karena kebencian dan ketakutan kita pada kematian….”
“Jika itu yang harus terjadi, aku akan memilih kebersamaan jiwa setelah kematian. Tak bermakna bagiku kebersamaan, sedang dalam jiwa kita ada kebencian dan ketakutan yang menggerogoti kesuciannya.”
Anisa bergumam amat lirih, terlihat ia mencoba tegar menahan tangis.
“Seperti aku memilih kebersamaan yang abadi, yang tak diantarai oleh kematian.”
“Setelah perpisahan ini, mungkin aku akan berharap kematian itu segera datang. Semoga ketegaranku tetap menyertai menjalani takdir. Jika ketegaran pun pergi, aku tak yakin bertahan untuk tidak bunuh diri….”
“Tidak, sayang. Bunuh diri menyalahi takdir kita. Walau saat ini pun kita telah lari dari takdir, tapi menuju takdir yang kita yakini lebih baik. Perpisahan memang menyakitkan. Dan kesendirian kadang membuat manusia berhenti belajar lalu lebih banyak melamun dan sentimentil. Seharusnya perpisahan ini akan memberi banyak waktu buat kita untuk belajar dan mengerti. Memerdekakan jiwa kita dari kebencian dan ketakutan pada kematian. Mengetahui kematian akan membuat kita memiliki banyak alasan untuk tetap hidup. Mengetahui kematian akan mengantarkan kita pada satu tujuan hidup.”
Dia berdiri menatap Anisa dengan mata yang berkaca-kaca. Di sana segelayut mendung menutupi sinar wajah yang dahulu selalu cerah. Dia berpaling. Tak sanggup menyaksikan pemandangan yang menghampakan jiwa. Dia ingin menjerit, berteriak memanggil ketabahannya. Yang datang hanya gerimis jatuh satu-satu menimbulkan sketsa buram di danau kesedihannya. Dan flamboyan menggugurkan daun-daunnya, pada musim yang semestinya semi.


Di hadapan mereka telah terbentang sebuah jalan pencerahan yang mungkin berliku dan panjang. Perjalanan tempat menempa hati dan jiwa, melenyapkan kebencian dan ketakutan. Erat tangan mereka saling menggenggam. Dia merengkuh kekasihnya dalam dekapan haru. Terbayang seberapa besar kerinduan yang akan hadir setelah perpisahan.
“Jika kau rindukan aku saat siang, berilah salam pada terang. Aku akan hadir bersama bias cerah matahari. Jika kau rindukan aku saat malam, berilah salam pada pekat di jendela. Aku akan menghampiri bersama mimpi indah….”
Lirih dia membisikkan harapan, mencoba mengalirkan ketenteraman di telinga Anisa, meski jiwanya sendiri pun tak pernah tenteram.
“Bila nanti di alam lain jiwa kita bertemu dan aku tak mengenalimu lagi, bukan berarti aku telah melupakanmu. Tapi aku telah butakan mataku agar dunia tak membuainya dengan wajah-wajah fana. Bila kau temukan aku, berilah salam. Akan kusingkap mahligai pelaminan menyambut kekasih jiwaku datang menjemputku menuju keabadian.”
Dia larut dalam kata-kata Anisa, suara itu seperti cemeti yang mendera seluruh usianya, membekaskan sebuah janji….
“Takkan ada di antara kita yang menunggu lama.”


Hati yang ditikam cinta
Akan mengadu pada malam
Bersenandung lagu pilu di kesunyian
Aku akan hidup oleh cinta
Aku akan mati oleh cinta


Dia, Rijal. Lelaki tua sendiri dan sepi. Di garis-garis wajahnya terpahat ketegaran dan ketenangan menjalani hidup. Terbersit cahaya surga dari jiwa yang sarat menyimpan kerinduan dan cinta. Tegar yang sangat pantas dan merdeka.
“Andai air mata mampu melegakan dahaga kerinduanku padamu, akan kureguk ia habis meski dengan cawan kepedihan.”
Dia, Rijal. Selalu berdiri di tepi danau sejak hari mulai menua. Menghitung rentan hidup dalam rotasi waktu. Bersama kepasrahan dan tawadhu. Di danau itu telah dia larungkan semua derita dan kepedihan perang melawan kebencian dan ketakutan.
Dia, Rijal. Sejak saat itu, memiliki jiwa yang bebas, meniti dimensi demi dimensi, menjelajahi ruang dan waktu. Bercengkerama dengan roh-roh manusia yang telah mati atau roh-roh manusia yang belum lahir. Roh-roh yang bersahabat. Seringkali roh-roh itu singgah ke tepi danau, mengucap salam bagi yang masih terus berdiri menanti malaikat menjelang.
Dia, Rijal. Menyaksikan roh kekasihnya melayang bahagia di mahligai pelaminan indah. Bersanding penuh cinta bermempelaikan kematian. Dan ribuan bidadari cantik bernyanyi sonata suargaloka, mengantar jiwa yang tersenyum menuju maqam keabadiannya.
“Salam bagimu, Anisa. Duhai kekasih jiwaku. Jiwamu telah tenteram penuh cinta. Setelah puluhan tahun didera berbagai derita kepedihan hidup. Dahsyat dan rawan. Kini kau bisa tersenyum bahagia, telah tiba di akhir perjalanan hidupmu, tanpa kebencian dan ketakutan.”
“Salam bagimu, Anisa. Duhai jiwa yang menggenggam jiwaku. Kaulah pemilik hati bijak bestari, yang tak terjajah oleh rasa takut dan benci. Begitu teguh menahan nafsu duniawi dan memekur diri mencari keabadian. Memelihara cinta dan kerinduanmu tetap suci mewangi kesturi.”
“Salam bagimu, Anisa. Duhai jiwa yang menghidupkan jiwaku. Seperti dirimu, aku pun kini telah mengerti. Kematian tak datang bagai siluman yang tiba-tiba muncul mengayunkan pancungnya ke leher. Tapi kematian selalu ada menyertai di sisi kehidupan. Kematian bukanlah terhentinya nafas, dialah udara bagi nafas kehidupan. Kematian bukanlah terhentinya detak jantung, dialah detak bagi jantung. Kematian dan kehidupan mengalir seiring dalam nadi dan menggerakkan tubuh-tubuh para pencinta yang mencari keabadian. Para pencinta yang menanggalkan simbol-simbol keduniaan lalu melangitkan milliaran puja pada Tuhan. Kematian bagi kehidupan, seperti air bagi danau. Danau hanyalah sebuah lubang besar bila tanpa air. Kematian dan kehidupan bagi para pencinta, tak berarti apa-apa bila tanpa cinta.”
Dia, Rijal. Lelaki tua sendiri dan sepi. Berdiri di tepi danau. Dengan tangan yang telah lemah dia lemparkan kerikil ke tengah danau. Dia berhasil membuat kerikil itu memantul beberapa kali di permukaan danau, lalu akhirnya tenggelam. Dia tersenyum. Telah banyak jawaban dari ujian hidup dia temukan di sana. Dan flamboyan pun menggugurkan daun-daunnya, pada musim yang semestinya semi.

Makassar 29 Maret 2003.

BADIK DAN BAWAKARAENG

Di masa itu…
Ketika tiada yang mengerti lelahmu
Dan beban tak dapat kau lepas dari pundakmu
Angkara murka bagimu mustika berharga
Kau tak hidup di hari kemarin dan esok

“Bangunlah anakku, tidakkah kau rindu Bawakaraeng?”
Berdiri jumawa di puncaknya
Dengan badik yang kau peroleh dari halilintar
Menantang mendung maha mendung

Di sana…
Di bumi yang dipenuhi bara dendam
Pun cakrawala tertutup teriakan pembantaian
Gunungan dosa yang dititip pada Bawakaraeng
Tak mampu dipikulnya sendiri

“Bangunlah anakku, Bawakaraeng memanggilmu”
Hanya engkau yang mampu redakan murkanya
Dengan badik dari halilintar puncak Latimojong
Takdirmu menggurat tanah Celebes

Dari titik ini…
Dari kakinya hingga jalur Lompobattang
Hantu dan jin yang pernah bercengkerama
juga tak bisa mengerti
Amarah apa yang bisa membunuh cinta

“Bangunlah anakku, Bawakaraeng telah menunggu”
Kau anak yang lahir ketika hujan bintang jatuh ke bumi
Berjuta mahluk bersesaji harapan
Selipkan badik di pinggangmu

Entah di mana…
Dari kakinya hingga jalur Lompobattang
Warangka yang sejak lama kau cari
Hanya sejengkal dari tanah
Yang entah di mana

“Bangunlah anakku, pinus Bawakaraeng merindumu”
Kau anak yang dianugerahi naluri
Temukan warangka dari salju abadi
Redakan api dari badik halilintarmu

Awal perjalanan…
Kau dengar angin membisikimu arah
Dan dingin membalutkan semangat
Kehidupan baru yang kau impikan dalam buaimu
Tak jauh lagi

“Bangunlah anakku, kabut takkan tutupi pandangmu”
Kaulah yang memiliki garis tangan
Menyatukan badik dan warangka yang terpisah
Ribuan tahun sejarah

Di ketinggian…
puncak yang tertutupi awan
Sebuah monumen abadi kau bangun dari cinta
Cerita tentang amarah yang telah reda
untuk selamanya

Anakku, jika suatu masa kau rindu Bawakaraeng
Saat itu Bawakaraeng pun merindukanmu
Karena setiap setahun perpisahan
Ketinggian Bawakaraeng terus bertambah
Oleh cinta dan ketakutan

Minggu, 15 Juni 2008

LELAKI GILA DAN HARIMAU

Setiap orang di desa ini menganggapnya gila. Setengah tahun yang lalu lelaki itu datang ke desa kami. Tak ada yang tahu pasti dari mana dia datang. Yang ada hanya desas desus kalau lelaki itu seorang pendaki gunung yang kerasukan roh penunggu gunung dan menjadi gila. Dugaan lain mengatakan kalau lelaki itu pernah jatuh ke jurang dan membuatnya lupa segala-galanya. Banyak juga dugaan lain yang beredar di kalangan penduduk desa yang pada umumnya menganggap dia adalah lelaki gila yang kesasar. Tapi aku tak mau buru-buru ikut menuduhnya gila. Bagiku dia tidak gila, karena dia tak pernah bertingkah aneh. Mungkin dia hanya mengalami kesulitan bersosialisasi.
Pernah sekali aku mencoba mengintip kegiatannya di gubuk tempat tinggalnya yang terletak di tepi desa dekat hutan. Dari balik semak-semak, aku lihat dia tengah duduk di balai-balai dengan memunggungiku. Entah apa yang sedang dilakukannya. Dari gerak bahu dan tangannya aku menduga dia sedang mengasah sesuatu, mungkin pisau atau golok. Aku jadi bertanya-tanya, untuk apa dia memiliki senjata?
“Saudara yang ada di luar. Mari singgah ke gubukku. Duduklah bersamaku!”
Dia memanggilku tanpa membalikkan tubuhnya. Tutur katanya santun, tapi tetap saja membuatku terkejut. Dari mana dia tahu kehadiranku di sini? Padahal sama sekali tak pernah aku lihat dia berbalik atau menghentikan kegiatannya. Mungkin dia mampu mencium bau tubuhku. Entahlah. Aku hanya buru-buru pergi meninggalkannya.


Sudah dua bulan desa kami diteror dengan kehadiran seekor harimau yang sangat buas. Sudah puluhan ternak peliharaan penduduk yang dimangsanya, termasuk dua ekor kambing yang aku punya. Hampir setiap malam penduduk desa mendengar auman harimau berkeliaran di jalan-jalan desa, bertamu ke setiap kandang ternak, lalu terdengar suara berderak, suara kulit dan daging yang dikoyak-koyak mengerikan seiring dengan lolongan kematian. Sejauh ini belum ada yang berani bertindak. Penduduk desa lebih memilih mendekam di rumah masing-masing daripada memburunya dengan resiko jadi mangsa. Setiap malam penduduk dicekam ketakutan, bahkan setiap selesai shalat Isya tak ada lagi penduduk yang berkeliaran di luar rumah. Mereka mengurung diri, pintu dan jendela ditutup rapat, pelita-pelita dimatikan. Mereka tak berani bersuara, pun tak berani terlelap. Mereka selalu takut kalau tiba-tiba harimau itu mendobrak masuk dan memangsa mereka saat tidur. Suasana desa jadi tidak tenteram, layaknya sebuah desa yang telah mati.
Sore itu Kepala Desa mengumpulkan penduduk di rumahnya. Mereka duduk bersila memadati ruang tamu rumah Kepala Desa yang cukup luas. Di depan mereka masing-masing tergeletak parang dan golok. Memang sejak harimau meneror desa tidak ada yang berani keluar rumah tanpa senjata tajam terselip di pinggang.
Rapat belum dimulai, tapi masing-masing penduduk tampaknya sudah mengadakan pembicaraan awal. Mereka seperti mendapat tambahan semangat dengan kehadiran teh dan pisang goreng yang dihidangkan Marni, isteri Kepala Desa. Aku tak begitu mengikuti pembicaraan orang-orang di sampingku. Perhatianku tertuju ke Marni. Perempuan itu nampak semakin cantik dan keibuan oleh kehamilannya yang tujuh bulan. Perempuan itu dulu teman bermainku sewaktu kecil. Kami tumbuh besar bersama. Hingga dia menjadi gadis, bunga desa. Hubungan pertemanan kami membuatku sempat menaruh perasaan cinta kepadanya, dan sepertinya dia pun memiliki perasaan yang sama. Sayang, saat itu Kepala Desa dengan kekuasaan dan wibawanya mampu meluluhkan hati kedua orang tua Marni dan membuatku patah hati. Marni pasrah diperisterikan Kepala Desa yang umurnya berbeda lebih dua puluh tahun dengannya. Saat itu pun Marni resmi menjadi isteri ketiga Kepala Desa, dua isteri terdahulunya tak ada yang berumur panjang. Kini Marni terlihat sangat bahagia dan menikmati kedudukannya sebagai isteri Kepala Desa.
“Saudara-saudara sekalian, harap tenang!”
Suara serak berwibawa Kepala Desa membuyarkan lamunanku. Aku raih segelas teh dan meminumnya seteguk, sekedar mengejar ketertinggalan dari orang lain yang rata-rata sudah mengosongkan gelasnya. Aku lihat Kepala Desa siap melanjutkan pidatonya.
“Saudara-saudara sekalian. Sebagaimana kita ketahui bersama, sudah dua bulan ini desa kita diteror oleh seekor harimau. Menurut laporan yang saya terima, sampai saat ini sudah dua puluh sembilan ekor ternak kita yang dimangsanya. Kita tidak boleh membiarkan kejadian ini berlarut-larut. Sebab jika kita biarkan, bisa jadi kalau harimau itu tidak menemukan ternak lagi, dia akan memangsa manusia. Kita tentu tidak ingin hal ini menimpa kita atau salah satu anggota keluarga kita. Oleh karena itu, saat ini saya selaku Kepala Desa menawarkan dua jalan keluar yang saya anggap paling mungkin dilakukan.”
“Yang pertama, kita akan hadapi harimau itu bersama-samaapapun caranya. Mungkin kita bisa menjebaknya lalu menombaknya ramai-ramai. Tapi tentu saja ini resikonya juga besar, sebab kita belum tahu seberapa ganas harimau itu. Saya khawatir harimau itu adalah harimau jadi-jadian yang sangat kuat, bukannya berhasil membunuhnya malah kita yang korban sia-sia.”
“Nah, yang kedua, ini penawaran saya selaku Kepala Desa kepada orang yang memiliki keberanian. Siapa saja yang bisa menangkap atau membunuh harimau itu, saya akan berikan hadiah berupa tujuh ekor sapi…”
Suasana pertemuan langsung ribut, setiap orang menanggapi tawaran itu dengan membincangkannya pada orang di sebelahnya. Aku sendiri berpikirpilihan pertamalah yang paling masuk akal. Bukankah itu yang menjadi ciri khas penduduk desa? Bukankah dengan bersama-sama keberanian akan semakin besar? Bukankah lidi akan sulit dipatahkan bila ia disimpul dengan lidi-lidi yang lain? Racun apa yang ada dlm pikiran Kepala Desa sampai dia mengeluarkan pilihan kedua itu. Mungkin dia ingin menarik simpati penduduk desa untuk pemilihan berikutnya. Atau mungkin saat ini dia sedang gembira karena akhirnya bisa membuat hamil Marni setelah dulu tak pernah bisa membuahi dua isterinya.
“Bagaimana? Adakah diantara kalian yang berani? Ini tujuh ekor sapi, loh!”
dia nampaknya mencoba menggoda pikiran orang-orang yang hadir dengan memainkan suaranya pada bagian kalimat yang mengiming-imingkan hadiah besar. Orang-orang hanya menanggapinya dengan ribut dan saling memandang satu sama lain. Belum ada tangan yang mengacungkan keberaniannya. Takkan pernah ada tangan yang mengacung. Dugaanku begitu.
“Aku!!”
semua orang terkesima mendengar suara yang keras penuh percaya diri. Mereka berpaling ke arah pintu, mereka sejenak terdiam, tapi tak lama mereka kembali bersuara ribut dan menggeleng-geleng.
“Tidak mungkin!!”
Apa yang tidak mungkin?apakah karena orang yang berdiri di pintu itu dan menawarkan keberaniannya adalah orng yang selama ini dianggap gila? Ataukah karena orang-orang ini mau menyembunyikan ketidaksanggupanya?
“Tenang!”
Suara Kepala Desa keras menghentak suasana. Dia berdiri dan menatap lelaki yang masih berdiri di depan pintu dengan tangan masih teracung. Dia melangkah mendekati lelaki itu.
“Kamu orang gila yang tinggal di pondok di tepi hutan itu kan? Kamu punya apa untuk melawan harimau itu? Jangan-jangan…”
Kepala Desa menghentikan kalimatnya. Kini mereka tepat berhadapan. Lelaki itu sudah menurunkan tangannya.
“Dulu desa kami tenang dan damai. Tapi sejak kamu datang, desa kami jadi dilanda musibah. Saya jadi curiga,jangan-jangan kamu yang bawa harimau itu ke sini. Atau mungkin kamu sendiri harimau itu…”
Orang-orang serempak berdiri. Wajah-wajah mereka nampak tegang. Aku lihat lelaki itu surut mundur oleh tekanan jari telunjuk Kepala Desa di dadanya. Dia tetap diam dengan wajah tenang.
“Ayo ngaku! Kamu harimau itu kan?!”
Lelaki itu masih tenang. Dia hanya surut langkah sedikit demi sedikit. Orang-orang melangkah mendekatinya. Aku jadi tegang.aku ingin dia menjawab tuduhan yang tidak berdasar itu. Aku ingin dia buka mulut menyatakan bahwa zaman sudah maju dan tak ada lagi harimau jadi-jadian. Tapi dia tetap diam dengan wajahnya yang tenang. Aku jadi tidak tahan.
“Jangan menuduh sembarangan!!” aku berteriak.
“Siapa yang menuduh sembarangan?! Jelas-jelas dia tidak bisa jawab pertanyaan saya!”
Suara Kepala Desa membahana. Wajahnya memerah geram. Orang-orang pun sudah ikut-ikutan menuding lelaki itu. Sementara itu lelaki itu pun sudah menampilkan wajah marah. Bibirnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Aku mencium hawa kekerasan. Mendadak, lelaki itu bergerak berbalik dan lari.
“Kejar!! Tangkap dia!!”
Kepala Desa memberi komando orang-orang yang memang sudah bersiap-siap. Serentak mereka menghunus senjata dan mengejar. Aku ikut di belakang mereka, meski batinku tak membenarkan cara-cara kekerasan seperti ini. Harusnya lelaki itu diberi kesempatan membela diri. Membuktikan dirinya tidak bersalah dan bukan harimau jadi-jadian. Tapi apa mau dikata lagi. Suasana terlanjur panas.
Lelaki itu terus berlari, melesat ke tepi desa. Orang-orang masih terus mengejarnya. Teriakan-teriakan pembunuhan memenuhi langit senja. Lelaki itu terus berlari. Masuk ke ladang-ladang. Melompati pagar batu. Melewati parit. Meniti pematang sawah dan melesat masuk ke dalam hutan.
Orang-orang berhenti. Mereka ragu-ragu melanjutkan pengejaran ke hutan. Gelap mulai turun dan kabut membumi. Sementara tak satu pun diantara mereka yang membawa obor.
“Kita kembali. Hancurkan gubuknya!”
Kembali terdengar suara Kepala Desa membahana. Orang-orang menyambutnya dengan sorak sorai mengacungkan senjata-senjatanya ke udara.
Orang-orang berbalik menuju gubuk tempat tinggal lelaki itu. Sepanjang jalan mereka terus bersorak sorai mengacungkan senjata. Hawa kemarahan masih terpancar dari wajah-wajah mereka. Teriakan pembunuhan melambung jauh menembus cakrawala senja.
Di dalam gubuk lelaki itu mereka menemukan beberapa tengkorak dan tulang belulang binatang yang aneh. Juga banyak jenis senjata yang biasa digunakan berburu. Melihat semua itu, mereka semakin marah dan beringas. Dengan senjata yang ada mereka menghancurkan gubuk itu. Aku tak mampu mencegahnya. Tak ada yang mampu mencegahnya.


Sejak kepergian lelaki itu desa kami kembali tenang. Tak ada lagi harimau datang menebar maut. Penduduk desa kembali bekerja seperti sedia kala. Mereka seolah sudah melupakan kejadian itu. Suasana desa malah makin tenteram dan damai karena kejadian itu membuat persatuan warga desa kian erat. Hingga suatu malam terdengar erangan dahsyat menggema ke seluruh penjuru desa. Sumber suara dari rumah Kepala Desa.sebentar saja penduduk desa yang penasaran berkumpul di halaman rumah Kepala Desa. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa?” Aku bertanya kepada orang yang lebih dahulu tiba di sana.
“Katanya isteri Kepala Desa melahirkan.”
“Loh, apanya yang aneh?”
“Saya dengar dia melahirkan anak harimau.”
“Masya Allah.” Aku terkejut tak percaya. Segera aku melompat masuk ke dalam rumah hendak menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Aku menyeruak di antara kerumunan orang di pintu kamar. Di dalam sekilas aku lihat Kepala Desa bersimpuh menangis membentur-benturkan kepala ke dinding. Dia nampak tak kuasa menerima kenyataan yang menimpanya. Di depannya sesosok tubuh terbujur ditutupi kain panjang.
“Siapa yang dibungkus kain panjang itu?” Aku bertanya pelan kepada wanita tua yang berdiri di depanku.
“Itu Marni. Dia meninggal setelah melahirkan bayi harimau.”
Aku diam terenyuh. Setetes air mata mengalir perlahan. Bagaimanapun aku pernah mencintainya. Banyak kenangan masa kecil yang kami ciptakan bersama. Aku berjalan lunglai keluar, tak kuasa menyaksikan tragedi itu lama-lama.
Esoknya menjadi hari duka cita seluruh penduduk desa. Berduyun-duyun mereka mengantar jenazah Marni ke pemakaman. Di depan sekali Kepala Desa berjalan dengan menggendong bayinya yang dibungkus rapat dengan kain sarung. Wajah Kepala Desa sangat sedih. Aku terharu menyaksikan kebesaran cintanya kepada Marni.
Prosesi pemakaman berlangsung haru penuh khidmat. Hampir tak ada suara lain yang terdengar kecuali doa bagi almarhumah. Hingga aku lihat Kepala Desa berjalan meninggalkan tanah pekuburan dengan membawa bayinya. Dia berjalan ke arah hutan diikuti beberapa orang penduduk desa. Di tepi hutan aku lihat dia meletakkan bayinya di bawah sebuah pinus. Dia duduk cukup lama di situ.hingga akhirnya dia berdiri dan melangkah kembali ke arah desa.
Ternyata musibah yang menimpa Kepala Desa hanyalah awal dari kejadian aneh yang melanda desa. Sebulan kemudian aku dengar ada lagi seorang ibu yang melahirkan bayi harimau. Bahkan kejadian itu terus berulang sampai beberapa bulan kemudian. Hingga ada empat orang perempuan lagi setelah Marni yang melahirkan bayi harimau. Entah apa yang menimpa desa kami? Dosa besar apa yang telah dilakukan penduduk desa hingga harus menerima malapetaka sebesar ini? Yang jelas musibah itu telah membuat suasana desa kembali tidak tenang. Penduduk desa menjalani hari-harinya tanpa semangat. Suami-suami jadi takut menggauli isteri-isteri mereka. Para pemuda dan pemudi pun tidak berani menikah. Di jalan-jalan jarang sekali terdengar suara anak kecil bermain. Yang ada hanya mayat-mayat hidup yang bekerja tanpa tujuan. Banyak penduduk desa yang tidak tahan dengan keadaan lalu pindah ke desa lain. Sebagian lainnya merantau ke kota. Aku sendiri tetap bertahan, meski merasa kehilangan masa depan.


Siang itu aku duduk di dangau setelah mengerjakan sawah. Aku bukannya beristirahat, hanya sering rasa malas itu datang bila membayangkan masa depanku. Aku pandangi sawahku. Betapa perihnya membayangkan kalau tak akan pernah ada keturunanku yang menikmati hasilnya. Lalu untuk apa berpayah-payah mengurusnya. Aku alihkan pandangan ke arah desa. Nampak atap-atap rumah di antara pohon-pohon. Dulu, jika aku duduk di dangau ini, dpt kudengar suara tawa dan canda anak-anak bermain di desa. Dulu, jika aku duduk di dangau ini, selalu kulihat penduduk desa yang bekerja di sawah atau menemaniku berbincang dan minum kopi. Ach. Hampir lima tahun kami hidup tanpa semangat dan tak mampu berbuat apa-apa untuk melawan kutukan ini. Hanya pasrah tanpa usaha. Lima tahun rasanya waktu yang sangat panjang dan melelahkan untuk bertahan hidup dalam kecemasan. Cemas mengingat usiaku yang sudah seperempat abad dan tidak berani menikah. Sementara dulu, orang seusiaku rata-rata sudah memiliki anak satu atau dua.
Lamunanku buyar oleh suara siulan sayup-sayup dari arah hutan. Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa di tepi hutan. Aku menunggu. Tak lama mulai terlihat empat orang pemuda dengan tas besar di punggung masing-masing berjalan keluar dari hutan. Aku duga mereka pendaki yang tersesat. Desa kami memang berada di kaki gunung, tapi sangat jarang ada pendaki yang lewat di desa kami, karena medan yang akan dilalui sangat terjal dan berbatu cadas. Hanya pendaki gila dan cari mati yang berani memulai pendakian dari desa kami.
“Permisi, bang!”
Mereka menyapaku dengan santun. Aku lihat kelelahan di wajah mereka, meski tampak gembira.
“Mari, singgah dulu. Barangkali mau istirahat!”
Mereka menurunkan tas yang berat, lalu ikut duduk di dangau. Aku tawarkan air minum dan tembakau, dengan sangat bersemangat mereka menerima tawaranku.
“Habis mendaki gunung?”
“Iya, bang.” Serempak mereka menjawab, lalu salah seorang di antara mereka menunjuk ke arah puncak gunung.
Aku masih ingin bertanya, tapi aku lihat mereka tengah kesulitan menggulung tembakau yang aku berikan. Aku ambil sejumput tembakau dan kertas rokok, lalu mengulungnya perlahan. Mereka mengikuti caraku hingga akhirnya mereka bisa, lalu dengan korek kayu aku sulutkan rokok mereka satu per satu. Mereka tertawa senang.
“Apa kalian memang merencanakan lewat desa ini?”
“Tdak, bang. Waktu turun dari puncak, kami memutar, mencoba cari jalur yang lebih dekat. Eh, malah tersesat. Lima hari kami terus berputar-putar cari jalan. Sampai ransum kami habis. Untungnya kami bertemu seorang lelaki tua bersama lima orang anaknya yang masih kecil-kecil. Dialah yang menunjukkan jalan ke desa ini.”
Aku terkejut mendengar jawaban dari pemuda berbaju kaos hitam polos. Setahuku, tak pernah ada orang yang tinggal di hutan itu, apalagi dengan anaknya yang masih kecil-kecil.
“Kalian ingat ciri-ciri lelaki tua itu?”
Salah seorang di antara mereka menyebutkan ciri-ciri lelaki tua itu dengan jelas. Aku menyimaknya dengan seksama. Dari gambaran yang disebutkan aku jadi penasaran dan menduga-duga, walau belum berani memastikan, di benakku telah hadir satu bayangan buram. Lalu aku meminta mereka memberitahuku arah menuju tempat pertemuan mereka dengan lelaki tua itu. Dengan bergantian mereka memberi petunjuk hingga aku ingat dan mengerti.
“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kalian mampirlah ke desa. Ceritakan apa yang terjadi pada kalian, orang-orang desa akan dengan senang hati membantu. Tapi saya minta kalian jangan ceritakan pertemuan kalian dengan lelaki tua di hutan. Cukup katakan kalian tersesat. Soalnya saat ini penduduk desa ditimpa musibah. Saya khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi…”
Ada kerut di kening mereka saat mendengar permintaanku. Tapi mereka tidak bertanya. Mereka hanya mengambil tas dan berjalan ke arah desa, setelah terlebih dahulu bersalaman. Jabat tangan khas pencinta alam kata mereka.


aku berdiri di depan sebuah gubuk di tengah hutan. Meski agak reot, gubuk itu cukup terawat. Di bagian depan ada balai-balai bambu dan kayu bakar ditumpuk rapi. Ada bekas api unggun di halaman samping kiri dan beberapa mainan anak-anak yang terbuat dari kayu tergeletak di sekitarnya. Ragu-ragu aku melangkah mendekati pintu.
“Assalamu alaikum…”
aku ketuk pintunya pelan. Belum ada jawaban dari dalam. Ingin kuketuk sekali lagi, tapi pintu itu perlahan bergerak membuka ke dalam. Sesosok lelaki berdiri di hadapanku. Dia menatapku cukup lama, hingga akhirnya bibirnya bergerak pelan mengucap kata.
“Masuklah!”
“Di luar saja. Di balai-balai ini.” Ragu dan sedikit takut aku menolak ajakannya. Ada bayangan hitam masa lalu melintas di benakku.
“Di dalam akan lebih santai.”
Dia berbalik melangkah ke dalam. Aku ikuti langkahnya dari belakang, takut dia tersinggung dan marah jika ajakannya aku tolak dua kali. Aku edarkan mata ke seluruh penjuru ruangan. Hampir tak ada perabot kecuali sebuah panci usang tergantung di dinding dan sebuah cerek diatas tungku dari batu persegi yang disusun. Di sebelah kiri aku lihat lima orang anak kecil tidur berjajar di sebuah balai-balai beralaskan tikar daun lontar. Di dinding di atas balai-balai itu ada hiasan tengkorak binatang dan busur dengan anak panahnya. Di sebelah kanan juga terdapat sebuah balai-balai, dan lelaki itu telah duduk di sana. Dia mengajakku ikut duduk. Aku ke sana dan duduk menjuntaikan kaki ke lantai tanah.
“Kamu tersesat?” Dia bertanya dengan suara pelan, sepertinya agar tidur anak-anak itu tidak terganggu.
“Tubuhku mungkin tidak, tapi pikiranku tersesat entah dimana. Banyak pertanyaan yang semestinya terjawab. Namun semua begitu gelap”
Dia tersenyum, lalu diam dan memejamkan mata, berusaha mencari kemana pikiranku tersesat, atau mungkin hendak mengusir kegelapan yang sembunyikan jawaban.
“Aku hanya seorang lelaki tua yang rindu tanah kelahiranku. Sayang, ternyata aku tak pernah pulang, aku hanya mampir.”
Suaranya terasa bergetar menahan luapan emosi di dadanya. Aku diam, membiarkan dia larut dalam kenangan hidupnya.
“Lima tahun yang lalu aku mencoba datang dengan kerinduan yang sangat besar. Tapi yang aku dapatkan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku jadi orang asing di negeri sendiri. Tak ada yang mengenalku dan tak ada yang ingin mengenalku. Bagi mereka aku hanya orang gila yang kesasar. Bahkan saudaraku sendiri menganggapku harimau jadi-jadian dan menyuruh penduduk desa membantaiku…”
“Jadi, Kepala Desa itu saudara bapak?” Aku semakin tidak mengerti, seperti ada misteri dengan banyak tanda tanya.
“Aku Bidin, dan Sikin adalah adikku. Sekita tiga puluh lima tahun yang lalu kami terpisah. Waktu itu kami sedang bermain di tepi hutan, mencari batang bambu untuk bikin mainan. Saat itu kami lihat cahaya yang sangat berkilau dari tengah hutan. Aku sangat tertarik. Aku ajak Sikin ke sana mencari sumber cahaya itu, tapi dia takut dan menangis. Lalu aku tinggalkan dia sendiri dan berlari masuk hutan, terus berlari ke arah cahaya itu. Sayang cahaya itu tak pernah aku temukan, sampai sekarang. Aku malah tersesat tak tahu jalan pulang. Tinggallah aku di sini, jadi manusia hutan. Hidup berburu binatang-binatang hutan. Pikiranku hanya bagaimana aku bisa bertahan hidup, agar bisa terus mencari jalan pulang. Akhirnya lima tahun yang lalu sebuah jalan terbuka untuk pulang, dan aku kecewa…”
“Lalu bagaimana dengan mereka?” Aku memalingkan wajah ke arah anak-anak kecil yang masih pulas.
“Merka adalah korbandari ketidakmampuan orang tua mereka menghadapi kenyataan. Saat itu mata hati orang tua mereka buta, hingga tak mampu melihat kesucian bayi mereka. Yang mereka lihat adalah bayi harimau, binatang yang dulu sangat ingin mereka bantai. Akhirnya nasib bayi-bayi itu berakhir di tepi hutan. Lihatlah mereka! Mereka juga manusia seperti kita. Seperti aku. Seperti kamu. Seperti orang tua mereka…”
Aku pandangi bocah-bocah itu bergantian satu per satu. Tak ada kebuasan di wajah mereka. Yang nampak hanya wajah-wajah polos dan lucu.
“Mereka seperti sangat lelah setelah bermain.”
“Ya. Salah seorang di antara mereka adalah k,eponakanku.”
“Ya. Salah seorang di antara mereka adalah anak Marni. Perempuan yang pernah aku cintai.” Aku mengucapnya dalam hati. Tiba-tiba aku ingat Marni.
“Kau dengar suara-suara itu? Sepertinya orang-orang mencarimu. Pulanglah! Katakana kutukan itu tak pernah ada.”
Lelaki itu menyentuh pundakku, membuyarkan serpiha-serpihan gambar Marni yang baru aku rangkai. Aku coba pusatkan perhatian. Memang dari kejauhan sayup-sayup aku dengar ada yang memanggil namaku.
“Ikutlah denganku, biar aku yang jelaskan semuanya kepada penduduk desa.”
Aku coba membujuknya dengan meraih tangannya, tapi dia menampiknya dengan halus.
“Tempatku di sini. Tempat anak-anak itu juga di sini. Aku tak akan pernah kembali lagi, tapi anak-anak itu suatu saat akan kembali ke tanah kelahiran mereka.”
”Biarlah anak-anak itu ikut denganku sekarang.”
“Tidak! Mereka belum siap, dan orang-orang itupun belum siap. Pergilah sekarang, atau kau akan hilang!”
Dia menuntunku berdiri dan menggandeng tanganku berjalan ke arah pintu. Mendadak, kepalaku seperti tersentak, aku lihat pintu berputar dan terus berputar seperti gasing menimbulkan pijaran warna-warna yang gemerlap. Dari pusat pusaran itu aku rasakan kekuatan besar yang menarikku masuk ke dalamnya. Lalu semua jadi gelap dan hening.
“Dimana aku?”


Saat aku membuka mata, samar-samar terlihat ada beberapa orang berdiri di sekitarku. Aku edarkan pandanganku yang semakn jelas ke segala penjuru. Di belakangku nampak bekas bangunan yang hancur, dan orang-orang di sekitarku tersenyum lega entah karena apa. Tempatku duduk saat ini adalah sebuah balai-balai bamboo yang telah lapuk oleh deraan cuaca. Aku ingat, di balai-balai ini pernah aku lihat seorang lelaki duduk mengasah senjatanya.
“Rusli, apa yang terjadi? Dua hari kami mencarimu. Kau seperti hilang ditelan bumi. Lalu tiba-tiba muncul di sini.”
Seseorang diantara mereka memberondongku dengan banyak kata ketika pikiranku hanya ingin mencerna kejadian yang baru saja aku alami. Sedikit demi sedikit kejadian itu terangkai membentuk sebuah kisah utuh. Kisah tentang satu perjalanan.
“Aku mau bicara dengan Kepala Desa!”
“Aku di sini Rusli. Apa yang mau kamu bicarakan?”
Kepala Desa menyeruak diantara kerumunan orang-orang dan berdiri tepat di depanku. Sepertinya dia baru saja datang.
“Aku hanya ingin Bapak bercerita tentang orang yang bernama Bidin dan apa yang terjadi tiga puluh lima tahun yang lalu?”
Aku lihat perubahan cepat terjadi di wajah Kepala Desa. Dia semakin murung dan sedih. Tubuhnya tiba-tiba lemas dan jatuh terduduk di balai-balai. Sejak kematian Marni wajahnya terus murung, dan kini aku membuatnya semakin murung dengan mempermainkan kenangannya.
“Dia kakakku. Tiga puluh lima tahun yang lalu saat kami bermain, dia berlari masuk hutan dan menghilang. Bapakku dan warga desa berusaha mencari, tapi berhari-hari bahkan berbulan-bulan tak ada yang menemukannya. Dia sama sekali tidak meninggalkan jejak. Tak putus asa bapakku terus berusaha. Sampai bapakku memanggil dukun untuk membantu mencarinya. Dukun itu mengatakan kalau kakakku disembunyikan oleh jin dan dibawa ke alam jin. Akhirnya kami menyerah. Tapi saat itu dukun sempat meramalkan kakakku akan kembali ke sini setelah tiga puluh tahun. Oohh… itu semestinya lima tahun yang lalu…”
Setelah itu tak ku perhatikan lagi apa yang diucapkan oleh Kepala Desa. Karena jauh di sana terlihat cahaya kecil yang sangat berkilau dar itengah hutan. Di tepi hutan itu juga aku lihat harimau besar berjalan ke dalam hutan diikuti lima ekor anak harimau. Mereka berjalan beriringan menuju cahaya itu. Sayang hanya aku yang menyaksikannya.

Makassar 02042003

Senin, 03 Maret 2008

SIRNA

remang……
................
seperti ada……
seperti tiada……
kulihat banyangmu melintasi puncak
entah melambai……
entah memanggil……
dan semua tiba-tiba terasa sangat jauh
hingga hanya mampu untuk dirindu dalam keheningan
aku hilang……
kekosongan menyerang jiwaku hampa
aku tak utuh lagi
darahku mengalir tanpa kendali jantung
nafasku mengembus tiada aturan paru-paru
benakku, hanya ada dirimu utuh
berulangkali
memberi mimpi buruk
berselimut kabut dan dentang lonceng yang pilu
aku terhempas ke dasar jurang
kulihat bayangmu melintasi puncak
entah melambai……
entah memanggil……
dan sebuah kastil yang belum jadi
menutup pandang terakhirku
seperti tiada……
seperti ada……
...............
remang……

BUNGAKU TAK PERNAH BERPIKIR

Bungaku……
Tak pernahkah engkau berpikir
Mengapa kumbang memiliki sayap
Sedang engkau tidak
Bungaku……
Tak pernahkah engkau berpikir
Mengapa kumbang hanya hinggap
Tanpa ada maksud menetap
Bungaku……
Tak pernahkah engkau berpikir
Mengapa kumbang hanya menghisap sarimu
Dan tak ingin memetik batangmu
Bungaku……
Tak pernahkah engkau berpikir
Mengapa kumbang dengan seenaknya
Berpindah ke bunga yang lain
Bungaku……
Tak pernahkah engkau membayangkan
‘Tuk sesekali menjadi kumbang
Atau menjadi rama-rama
Bungaku……
Hanya dengan menjadi kumbang kau bisa tahu
betapa manisnya putik bunga
Dan betapa bebasnya memiliki sayap
Bungaku……
Kau tak pernah berpikir

Minggu, 02 Maret 2008

KEPADA PUISIMU


puisimu mengalir, aku hanyut

Makassar 23012004

PETAKA

Langit masih kelabu waktu kita berdua di taman
mempersoalkan kesetiaan
Kita belum memiliki tameng prinsip
Siapa yang harus kalah?
Aku jelas bertahan
Meskipun aku gamang
Seperti jembatan yang kita saksikan dari sini
Begitu angkuh pada kesanggupannya
Atau aku harus kembali
Menemukan kesendirian
Lalu mengurainya satu-satu
Hingga lebur bersama angin
Menjadikannya mendung hitam
Dan melepaskannya sebagai hujan kesedihan
Yang mendekap erat kegundahan
Sampai tak mampu lagi meneriakkan kata-kata
.....................
Diammu sungguh mematikan
Akalku dapat mencerna
Kekuatanmu pada kesedihanmu
Teramat pahit untuk diresapi
Kini aku bertaruh dengan waktu
Langit pasti tetap kelabu
Meski kicau burung terdengar di pagi hari
Hujan pasti tak henti
Meski mendung tak mendahului
Malam akan tetap gelap
Meski mentari mengganti rembulan
Dan waktu pasti mengalahkanku

Aku gamang
Aku bertahan
Aku mengalah?
Aku tak mau kalah
Aku menang?
.................
Aku telah gugur berderai
Di tumpukan dedaunan sampah taman
Dan kau duduk dengan angkuh di bangku beton
Memandangi seorang tukang sapu
Aku memanggilmu,
Tak terdengar;
Aku berteriak, tak terjawab;
Aku kini dipenuhi dendam
Aku harus bertahan!!
Pergilah hingga tak terlihat oleh mata hati
Dan cintaku kucari
Di tumpukan dedaunan sampah taman
Mungkin kutemukan lagi
Pada daun yang berguguran
Di musim-musim semi

Senin, 04 Februari 2008

KERANDAMU

aku menjeritkan cacimakimu pada penderitaan
siapa yang menuai kegembiraan setelah kesengsaraanmu, saudaraku?
aku menangis
karena tangismu adalah darah
darahmu adalah amarah
dan amarahmu menggetarkan bumi semesta negeriku

aku menjeritkan cacimakimu pada perang
siapa yang memproklamirkan kemerdekaan di atas kematianmu, saudaraku?
aku menangis
karena peluhmu adalah perjuangan
perjuanganmu juga amarah
dan amarahmu mengobarkan api semesta negeriku

aku menjeritkan cacimakimu pada kezaliman
siapa yang memetik harapan dari keputusasaanmu, saudaraku?
aku menangis
sebab lukamu adalah penindasan
tertindasmu adalah durjana
dan kedurjanaan menggejolakkan amarah semesta negeri

aku menjeritkan cacimakimu pada kematian
siapa yang menarik nafas panjang atas tersengalmu, saudaraku?
aku menangis
sebab jiwamu menjadi tiada setelah ada
dan ketiadaanmu karena mereka merampasnya
aku melihatnya, saudaraku
bahkan sangat jelas terlihat
mereka merampas nasi dari mulutmu
mereka menuang racun di cawan airmu
mereka menguras peluh tenagamu
hingga ketuaan menghampirimu dengan segera
mereka menjelma menjadi malaikat maut bagimu
menyumbat alir nafasmu hingga hanya satu-satu
merenggut ajalmu, saudaraku
mereka merenggutnya seolah rohmu milik mereka
lalu menarikan tarian kematian
tatkala menyeretmu ke lahatmu
seolah membawa binatang hasil buruan mereka
menghempaskanmu ke liang yang tak dalam
tanpa menimbuninya dengan tanah dari negerimu
hanya angin yang berhembus membawa debu
yang menutupi tubuhmu, saudaraku
setiap hari……
hingga hari yang ke tujuh
masih terlihat tanganmu menggapai udara
yang mewangi oleh aroma harum jenazahmu

saudaraku……
di makammu tak kudapati keranda dari kayu
hanya kulit tanganmu yang menggapai udara
yang mewangi oleh aroma harum perjuanganmu

PLEIDOI SANG DEMONSTRAN

Malam sebelum aksi dimulai. Kuawali dengan sebuah pergerakan sendiri, langkah yang harmoni. Melewati setiap gang sempit yang berpagar dinding rumah, jalan-jalan yang tak biasa dilalui petinggi negeri ini, jalan-jalan yang katanya milik pemerintah, tapi pemerintah sendiri tak pernah melaluinya. Ironis sekali. Tapi aku menikmatinya. Menghirup nafas orang-orang yang tertidur di balik dinding itu, merasai, mencerna nafas penderitaan, keletihan, kelaparan dan keputusasaan.
“Tariklah nafas sedalam-dalamnya, saudaraku. Karena di tanah air yang kita miliki sekarang ini, hanya udara yang tak perlu dibeli”

Lalu bayangan-bayangan membumbung dari atap-atap, berputar di atasku, menari dan tertawa. Diantara bayangan itu, sekelompok begitu asyik merangkai cahaya, membentuknya serupa istana, dan tamannya menjadi tempat bagi bayangan yang berkasih mesra. Bukankah bayangan-bayangan itu adalah roh-roh yang lepas dari jasad para pemimpi? Bukankah hanya di dunia mimpi mereka dapat menikmati keindahan?
“Bermimpi indahlah saudaraku, semestinya mimpi indahmu tak hanya dimulai di pembaringan”
“Bermimpi indahlah saudaraku, sebab esok kerasnya kehidupan juga dimulai dari pembaringan”

Aku harus kembali. Harusnya malam ini ada konsolidasi persiapan aksi, menyusun skenario dan perangkat-perangkat aksi, dan kawan-kawan seperjuanganku pasti mengharapkan kehadiranku. Tapi aku masih ingin di sini. Sendiri. Aku ingin berkonsentrasi, menghimpun pendaran asa dari roh-roh yang melayang, merangkumnya dalam semangat, yang entah patriotisme, entah chauvinisme. Bukankah untuk berekspresi aku perlu mendalami peranku? Bukankah perjuangan dimulai dari diri sendiri?

Di ujung gang, sebuah rumah, terlihat beranda yang diterangi bohlam 10 watt dan kepulan asap dari rokok sekelompok orang yang membentuk forum. Sebuah perhelatan kopi dan pisang goreng yang nyaris berakhir, perhelatan khas rakyat, kekeluargaan dan gotong royong.
“Kalau besok mahasiswa turun ke jalan, hamparkan karpet merah di jalan yang mereka lalui”
Kalimat dari pemimpin forum itu meresapkan makna ke dalam jiwaku. Mengajak sebuah perenungan. Menjadi penyimpul dari semangat yang dititip roh-roh yang melayang, mengokohkan sebuah tekad dan melepas kejumudan.

Roh-roh di angkasa
Dan pendaran selaksa asa
Berpusar menjelma awan hitam
“Kuremukkan kau tirani kejam”
Arwah-arwah datang mengamini
Melayang membabi buta
Gemuruh jutaan mantra
“Enyah kau penjajah jahanam”

Inilah kodrat kita, kawan-kawan
Tuk selalu berdiri di depan
Garda antipenindasan
Takdir membawa kita ke sini
Menjaga gapura bangsa dari rezim yang mengkhianati kepercayaan rakyat
Rezim yang mengokohkan status quo
Bahwa penindasan adalah sesuatu yang samar dan halal

Kawan-kawan,
Saatnya mengawal komitmen ini
Membela rakyat yang tertindas
Menjatuhkan rezim yang berkuasa dan membentuk pemerintahan rakyat
Sebab rakyat telah mengilhami gerakan ini
Sepanjang jalan yang akan kita lalui
Hamparan karpet merah, akan melindungi langkah moral dari debu-debu pengkhianatan

Tetaplah di barisan ini, kawan-kawan
Karena di barisan ini, kita lebih mencintai mars daripada hymne
Di barisan ini, suara hati nurani lebih lantang daripada gemuruh halilintar
Dan lebih tajam dari miliaran sembilu

Majulah, kawan
Sebab tak berguna menikam tubuh yang nuraninya telah dilukai
Tak berguna membunuh jasad yang rohnya telah melihat lambaian tangan arwah para pahlawan
Tiada artinya penjara bagi jiwa-jiwa yang telah merdeka
Dan bedil-bedil tak dapat menggores perisai keyakinan
Revolusi atau Mati
Sekali berarti, sudah itu mati
Merdeka

Siang itu langkah para demonstran terdengar begitu berderap, tegap dan dada membusung bangga. Inilah demonstrasi pertamaku yang sangat penuh semangat dan ramai. Sebuah people power. Ratusan bahkan mungkin ribuan massa mahasiswa tumpah di jalan, dengan jaket almamater dan spanduk-spanduk yang beraneka warna dan logo. Hanya ikat kepala mereka yang seragam. Merah.
Seorang tampil ke depan menjadi dirigen, memimpin para demonstran menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Langkah mereka pun semakin berderap dan seirama dengan lagu. Genderang yang ditabuh serta yel-yel berpadu seperti sebuah konser orkestra. Ya, sebuah orkestra jalanan yang sempurna.
Di tepi jalan, kerumunan orang-orang tampak menikmati aksi jalanan kami. Mereka melambai, mengacungkan jempol, mengepalkan tangan, bersorak dan mengelu-elukan. Demonstran semakin bersemangat hingga lagu yang mereka nyanyikan mulai tidak beraturan dan berulang-ulang. Tangan sang dirigen pun tidak kompak sudah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Setidaknya sedikit suntikan spirit ke dada mereka. Buktinya, hingga belasan kilometer berjalan, stamina mereka seolah tidak berkurang.
Sejenak perasaan bangga merambati dadaku. Aku ada di sini dan berperan besar dalam sebuah gerakan yang mungkin menentukan nasib bangsa. Sebuah revolusi. Setelah ini barangkali namaku akan tercatat dalam sejarah pergerakan, sebagai tokoh perubahan. Ah, tidak, tidak!! Bukankah itu berarti aku mengharapkan pamrih? Juga pengkhianatan atas amanah yang dititipkan rakyat dan roh-roh yang menginspirasiku semalam?
“Sudahlah, bukankah engkau belum tahu ending dari cerita ini?”
“Hei, lihatlah!!”
Seorang demonstran menegurku dan mengacungkan telunjuknya ke depan. Menyingkap tabir lamunan yang menutupi mataku. Aku terkesiap. Di depan, aparat keamanan telah memblokir jalan. Barisan depan nampak barikade aparat yang membawa perisai dan pentungan. Dimana-mana terlihat polisi yang mondar mandir dengan senapan, kawat berduri, beberapa mobil lapis baja dan water canon. Sesaat lagi kami sudah berhadapan dengan barikade pertama. Aku mulai mengamati situasi dan kondisi. Di sisi kanan kiri jalan kerumunan orang-orang nampak tegang. Mereka tak bersorak sorai. Diam dan kaku. Barangkali mereka membayangkan bentrokan yang mungkin terjadi antara demonstran dan aparat keamanan. Tapi benakku menangkap sesuatu yang aneh dari kerumunan orang-orang itu. Sesuatu yang misterius. Tiba-tiba terngiang kata-kata “Hamparkan karpet merah di jalan yang mereka lalui…”
“Bagaimana selanjutnya?!”
Satu suara yang bergetar dengan nada cemas bertanya. Pikiranku masih terfokus pada kerumunan orang-orang tadi. Berusaha memecahkan misterinya.
“target kita menduduki istana!”
Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Aku tahu betul target aksi ini bukan menduduki istana. Dan aku tahu betul dalam suara itu ada tekanan provokatif.
Sementara itu, jarak para demonstran dengan aparat semakin dekat. Mulai terjadi dorong mendorong. Demonstran berusaha membuyarkan barikade aparat. Sementara aparat merangsek maju mendesak. Aku berusaha menepi dan terus mengamati orang-orang itu.
“Serbu istana…!!!”
Teriakan menggelegar dari arah tengah massa bersama layangan batu ke arah aparat, menyulut konfrontasi. Massa demonstran terdepan mulai panik. Mereka terdesak oleh massa demonstran di belakang yang mendorong maju. Aparat terus merangsek maju dengan perisainya. Pentungan sudah digunakan. Lemparan batu makin deras menghujani aparat. Mereka membalas dengan pentungan dan tembakan ke udara. Gas airmata pun melayang kearah massa demonstran. Mereka makin panik, perempuan dalam barisan demonstran menjerit histeris. Suasana makin kacau, menegangkan. Massa demonstran berupaya bertahan. Segera kututup hidungku dengan sapu tangan, mencegah efek buruk gas airmata. Aku berusaha bergerak ke pinggir, menjauhi massa yang mulai brutal. Berusaha mendekati seorang aparat yang dari pakaiannya kuduga dialah komandan pasukan. Aku terus bergerak, meronta, menyibak tubuh demonstran yang menghalangi. Aku semakin dekat. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Dia melepaskan topi dan berpaling kearah kerumunan orang-orang di tepi jalan.
Rasanya aku pernah melihat orang itu sebelumnya. Aku mengikuti arah pandangannya. Aku ingat. “Orang itu…”
Mendadak, sekelebat kilauan golok dari kerumunan orang-orang di pinggir jalan menyilaukan mataku. Tidak hanya satu, semua tiba-tiba menghunus senjatanya, golok, pedang, samurai, sangkur komando, kapak, badik, keris, balok kayu dan masih banyak lagi.
“ Masya Allah, dalam kerumunan orang-orang itu sama sekali tak ada perempuan…”
Seperti telah dikomando serentak orang-orang itu menyerbu barisan massa demonstran yang memang sudah kalang kabut. Mereka kocar kacir, seolah angin tornado menghantam mereka dari segala penjuru. Massa demonstran terkepung. Dari arah depan aparat keamanan membombardir dengan pentungan dan tembakan yang membabi buta. Sementara sisi kiri, kanan dan belakang, massa sipil begitu beringas mengayunkan senjatanya. Ini sebuah jebakan, dan massa demonstran telah terjebak dalam ladang pembantaian. Pemandangan yang mahamengerikan. Demonstran berlarian panik, suara senjata yang beradu dengan tubuh, asap-asap hitam membumbung ke langit, api yang berkobar-kobar, jeritan demonstran yang melengking, dentum bedil dan senapan otomatis, tubuh-tubuh yang terburai, darah memuncrat disana-sini, teriakan-teriakan pembantaian, raungan sirene, bau mesiu bercampur gas airmata yang tenggelam oleh amis darah, erangan meminta belas kasihan dan ampun, kepala-kepala yang menggelinding!! “Astaga, di kepala-kepala itu masih terikat kain merah!!”
Aku jambak kain merah di kepalaku dan menghempaskannya. Aku bertahan sebisaku. Beberapa orang kawan melindungiku dengan menjadikan tubuh mereka sebagai tameng. Tak urung beberapa kali tulangku berderak terhantam balok kayu dan kulit tersayat pedang atau apa. Aku mulai meradang, memukul dan menendang ke segala arah. Tak kupedulikan lagi sakit dan perih. Aku hanya ingin pergi dari sini. Lalu kulihat satu celah. Aku meloncat, menerobos, berlari, menyeruduk siapapun yang menghalangi. Aku terus bergerak, menangkis menghindar, mengelak tebasan malaikat maut ilusif. Rasa takut mendorongku untuk terus berlari, lari, lari. Hingga jauh.
Aku berhenti ketika suara-suara itu tak terdengar lagi, atau mungkin karena kekuatan yang datang entah dari mana –yang memacuku berlari– pun pergi entah ke mana. Aku hanya berdiri, meresapi putaran bumi yang makin cepat dan getarannya yang mengolengkan tubuh. Oh, malam datang begitu cepat. Pandanganku gelap, hitam dan berputar. Aku tersungkur.
Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat. Aku ingin tidur, menutup mata dari kejamnya kehidupan hari ini, dan berharap esok aku bangun dengan amnesia.
Sebuah tangan halus kurasakan menyentuh tanganku. “Engkaukah yang datang, wahai Bidadari…!?!”

Dimana aku?
Dimana malam?
Dimana siang?
Mengapa yang ada hanya kegelapan dan kesunyian
Sedang jasadku tiada teraba
Dan jiwa entah berkelana kemana
Apakah kegelapan menyembunyikan pintu?
Ataukah kegelapan sendiri adalah pintu ke alam arwah
Mengapa kematian masih sisakan rasa sakit dan ingatan yang menakutkan?
Dan pahit yang bukan rasa

Selimuti aku, kegelapan
Bantu aku temukan kehangatan
Hingga jasadku hadir didalamnya
Tak perlu lagi dia mengembara
Ke setiap tempat demonstrasi
Ke setiap ruang diskusi
Ke setiap mimbar orasi

Tanpa jasadku, kegelapan
Aku berdiri tanpa berpijak
Perjalananku takkan sisakan jejak
Perkataanku takkan bekaskan simpati
Kehadiranku tak membawa kesan
Ritual doaku tak lagi menjura
Jiwaku takkan memiliki tempat bersemayam

Tanpa jasadku, kegelapan
Segala teori tak berguna
Amarah hanya jadi dendam
Dan luka takkan terbalut

Aku akan selalu butuh jasadku
Agar setiap ekspresi bebas tak berpasung

Jika kau temukan jasadku, kegelapan
Bawa ia ke sisi kesunyian
Agar ia dengar cerita
Tentang sakitnya luka pengkhianatan
Dan riskannya penghasutan

Jika ia telah mengerti
Biarlah ia pergi bersama kesunyian
Mencari jiwa yang sedang marah
Pada ketidakadilan
Pada perang
Pada kebenaran yang disembunyikan
Pada jasad yang tak mampu berbuat apa-apa

Mungkin kini dia berdiri di ambang kiamat
Meraung dan memaki takdirnya
Yang tak memiliki kekuatan melawan penindasan
Menyesali dan meratapi kelahirannya sebagai pecundang

Jika kau temukan jiwaku, kesunyian
Dekaplah dia dengan cinta
Bimbinglah dia memasuki jasadnya
Agar dia memiliki pundak tuk bersandar dan menangis

Jika jasad dan jiwa telah satu dalam kesunyian
Akal akan datang sendiri
Bersabda ihwal memiliki ketabahan
Ihwal memiliki kesabaran
Ihwal memiliki ketegaran
Ihwal memiliki pertobatan
Ihwal memiliki kebesaran jiwa
Ihwal memiliki keikhlasan
Ihwal memiliki cinta
Ihwal memiliki maaf
Ihwal penyerahan diri
Ihwal penghambaan pada Tuhan

Biarlah dia terus belajar
Diakhir sabda dia akan tahu
Penindasan terbesar ada dalam diri
Jika hati tak merdeka
Dari hawa angkara murka

Maafkan aku, kawan. Telah membuaimu dengan retorika kosong. Hingga kau ada di sini, di jalan yang aku pun tak pernah tahu batasnya. Dan semua berakhir begitu saja. Bersama tumpahan hujan dari langit kepiluan. Menenggelamkan mimpi tentang tanah merdeka.
Maafkan aku, kawan. Telah mematikan gerak pendulum dan membuat jam tak lagi berdetak semestinya. Meluruhkan harapan akan waktu. Berjalan mengiring perubahan, walau akhirnya harus berdiri di tiang eksekusi, yang kutegakkan di puncak gundukan tulang belulang pejuang-pejuang yang mati oleh pengkhianatan.
Maafkan aku, kawan. Atas jiwa yang arogan dengan menafikan sebuah interpretasi. Hamparan karpet merah yang kalian lalui, adalah darah dari korban sia-sia, setelah perselingkuhan yang sukses dengan sejarah, bahwa kitalah pengusung panji-panji, suara nurani rakyat.
Maafkan aku, kawan. Menggiring kalian pada genosida, yang tak pernah terbayang dalam pilihan hidup kita. Mungkin di sana arwah kalian marah dan mencaciku. Mengutuk kepengecutanku yang lari dari perjuangan kalian.
Maafkan aku, kawan. Meski kutahu marahmu tak berbatas kata maaf. Yang aku harap hanya kebesaran hati. Menerima rohku yang gelisah tak tentu. Pada derajat pejuang yang terendah.
Maafkan aku, kawan. Atas kata maafku yang tak banyak. Sebab kita tak pernah tahu. Kadar besarnya dosa pengkhianatan, bahkan pahala kerelaan menerima maaf.

Makassar, 13 Maret 2003.

Minggu, 03 Februari 2008

SERAGAM MERAH DARAH

tanah airku memerah
oleh darah-darah kaumku
merah oleh darah kaummu
darah yang tumpah di jalan-jalan, di trotoar, di jembatan
darah yang tercecer bersama gelung semangat
nyala memerah
darah yang terburai oleh peluru tajam aparat
merah menembus seragam……merah
merah
merah memerah
merah berdarah

tanah airku memerah
oleh darah-darah kemahasiswaanku
merah oleh darah kemahasiswaanmu
mengalir bersama air mata,
air mata yang juga berdarah
air mata yang teraniaya penguasa
air mata yang tertindas tirani
tirani yang tega membunuh nurani
dan merobek-robek seragam……merah
merah
merah memerah
merah berdarah

seragamku memerah
oleh darah-darahku
merah oleh darahmu
seragam yang tak sebanding rompi antipelurumu
yang terobek tikaman sangkurmu, bahkan
lubang tertembus peluru tajammu

biarlah merah tetap memerah
sebab seragamku adalah perjuangan
merahnya adalah senjata
darahnya adalah semangat
yang menggelung abadi sepanjang sejarah
belum menutup matanya pada perjuangan

tanah airku memerah
tanah airku berdarah
seragamku memerah darah

TENTANG KERESAHAN

Jika keresahan kupetikkan pada gitar dengan nada
Biarlah dia menjadi lagu pilu
Jika keresahan kuhempaskan pada kertas lewat pena
Jadilah ia puisi yang mendayu
Jika keresahan kutuangkan pada kanvas dengan warna
Menjelmalah lukisan yang indah
Tapi jika keresahan kupendam dalam diri
Jadilah ia yang memakan hatiku
Menggerogoti dagingku
Merapuhkan tulang rapuhku
Membekukan darah bekuku
Melumpuhkan persendian lumpuhku
Menyumbat jalan nafas tersumbatku
Menikam jantung lemahku
Lalu mematikan gerak ragaku
Hingga tak mampu lagi tiba pada titik kegembiraan melupakan keresahan
Aku telah mati
Hanya menyisakan kisah tentang keresahan yang tak tuntas
Dan tak pernah ingin kau kenang
Hanya ingin kau buang di tempat sampah

Sabtu, 02 Februari 2008

PECUNDANG


tak kutemukan lagi diriku yang dahulu
pada diriku yang sekarang bertopang dagu
dan tiada tahu arti malu

Makassar 17012002

SAMA DAN BEDA

Memberi kalau sekedar cinta
Atau mencinta kalau sekedar memberi
Apalah sama
Apalah beda
Apakah cinta adalah pemberian
Ataukah pemberian adalah cinta
Lalu siapa yang sama
Dan siapa yang berbeda
Apakah persamaan membuat kita berbeda
Ataukah perbedaan membuat kita bersama
Jangan jadikan pertanyaan
Sebab jawabannya hanya tidak
Dan jangan harapkan jawaban
Sebab cinta kita hanya mengalir
Tak melawan arah
Cinta kita satu tujuan
Kepercayaan dalam kejujuran
Kejujuran dalam kepercayaan
Yang tak perlu sama dan beda

DINDING SEPI

Malam yang penuh duka
Duka di dua malam terakhir
Kutumpahkan pada detak-detak jam dinding
Tapi jam dinding hanya bisa berdetak
Aku mengeluh pada cicak di dinding
Tapi cicak hanya mampu berdecak
Aku bersandar di dinding
Jam tergantung di dinding
Cicak merayap di dinding
Aku, jam dan cicak
Mengadu pada dinding
Tapi dinding masih ingin menyendiri
Lalu menyepi