Minggu, 15 Juni 2008

LELAKI GILA DAN HARIMAU

Setiap orang di desa ini menganggapnya gila. Setengah tahun yang lalu lelaki itu datang ke desa kami. Tak ada yang tahu pasti dari mana dia datang. Yang ada hanya desas desus kalau lelaki itu seorang pendaki gunung yang kerasukan roh penunggu gunung dan menjadi gila. Dugaan lain mengatakan kalau lelaki itu pernah jatuh ke jurang dan membuatnya lupa segala-galanya. Banyak juga dugaan lain yang beredar di kalangan penduduk desa yang pada umumnya menganggap dia adalah lelaki gila yang kesasar. Tapi aku tak mau buru-buru ikut menuduhnya gila. Bagiku dia tidak gila, karena dia tak pernah bertingkah aneh. Mungkin dia hanya mengalami kesulitan bersosialisasi.
Pernah sekali aku mencoba mengintip kegiatannya di gubuk tempat tinggalnya yang terletak di tepi desa dekat hutan. Dari balik semak-semak, aku lihat dia tengah duduk di balai-balai dengan memunggungiku. Entah apa yang sedang dilakukannya. Dari gerak bahu dan tangannya aku menduga dia sedang mengasah sesuatu, mungkin pisau atau golok. Aku jadi bertanya-tanya, untuk apa dia memiliki senjata?
“Saudara yang ada di luar. Mari singgah ke gubukku. Duduklah bersamaku!”
Dia memanggilku tanpa membalikkan tubuhnya. Tutur katanya santun, tapi tetap saja membuatku terkejut. Dari mana dia tahu kehadiranku di sini? Padahal sama sekali tak pernah aku lihat dia berbalik atau menghentikan kegiatannya. Mungkin dia mampu mencium bau tubuhku. Entahlah. Aku hanya buru-buru pergi meninggalkannya.


Sudah dua bulan desa kami diteror dengan kehadiran seekor harimau yang sangat buas. Sudah puluhan ternak peliharaan penduduk yang dimangsanya, termasuk dua ekor kambing yang aku punya. Hampir setiap malam penduduk desa mendengar auman harimau berkeliaran di jalan-jalan desa, bertamu ke setiap kandang ternak, lalu terdengar suara berderak, suara kulit dan daging yang dikoyak-koyak mengerikan seiring dengan lolongan kematian. Sejauh ini belum ada yang berani bertindak. Penduduk desa lebih memilih mendekam di rumah masing-masing daripada memburunya dengan resiko jadi mangsa. Setiap malam penduduk dicekam ketakutan, bahkan setiap selesai shalat Isya tak ada lagi penduduk yang berkeliaran di luar rumah. Mereka mengurung diri, pintu dan jendela ditutup rapat, pelita-pelita dimatikan. Mereka tak berani bersuara, pun tak berani terlelap. Mereka selalu takut kalau tiba-tiba harimau itu mendobrak masuk dan memangsa mereka saat tidur. Suasana desa jadi tidak tenteram, layaknya sebuah desa yang telah mati.
Sore itu Kepala Desa mengumpulkan penduduk di rumahnya. Mereka duduk bersila memadati ruang tamu rumah Kepala Desa yang cukup luas. Di depan mereka masing-masing tergeletak parang dan golok. Memang sejak harimau meneror desa tidak ada yang berani keluar rumah tanpa senjata tajam terselip di pinggang.
Rapat belum dimulai, tapi masing-masing penduduk tampaknya sudah mengadakan pembicaraan awal. Mereka seperti mendapat tambahan semangat dengan kehadiran teh dan pisang goreng yang dihidangkan Marni, isteri Kepala Desa. Aku tak begitu mengikuti pembicaraan orang-orang di sampingku. Perhatianku tertuju ke Marni. Perempuan itu nampak semakin cantik dan keibuan oleh kehamilannya yang tujuh bulan. Perempuan itu dulu teman bermainku sewaktu kecil. Kami tumbuh besar bersama. Hingga dia menjadi gadis, bunga desa. Hubungan pertemanan kami membuatku sempat menaruh perasaan cinta kepadanya, dan sepertinya dia pun memiliki perasaan yang sama. Sayang, saat itu Kepala Desa dengan kekuasaan dan wibawanya mampu meluluhkan hati kedua orang tua Marni dan membuatku patah hati. Marni pasrah diperisterikan Kepala Desa yang umurnya berbeda lebih dua puluh tahun dengannya. Saat itu pun Marni resmi menjadi isteri ketiga Kepala Desa, dua isteri terdahulunya tak ada yang berumur panjang. Kini Marni terlihat sangat bahagia dan menikmati kedudukannya sebagai isteri Kepala Desa.
“Saudara-saudara sekalian, harap tenang!”
Suara serak berwibawa Kepala Desa membuyarkan lamunanku. Aku raih segelas teh dan meminumnya seteguk, sekedar mengejar ketertinggalan dari orang lain yang rata-rata sudah mengosongkan gelasnya. Aku lihat Kepala Desa siap melanjutkan pidatonya.
“Saudara-saudara sekalian. Sebagaimana kita ketahui bersama, sudah dua bulan ini desa kita diteror oleh seekor harimau. Menurut laporan yang saya terima, sampai saat ini sudah dua puluh sembilan ekor ternak kita yang dimangsanya. Kita tidak boleh membiarkan kejadian ini berlarut-larut. Sebab jika kita biarkan, bisa jadi kalau harimau itu tidak menemukan ternak lagi, dia akan memangsa manusia. Kita tentu tidak ingin hal ini menimpa kita atau salah satu anggota keluarga kita. Oleh karena itu, saat ini saya selaku Kepala Desa menawarkan dua jalan keluar yang saya anggap paling mungkin dilakukan.”
“Yang pertama, kita akan hadapi harimau itu bersama-samaapapun caranya. Mungkin kita bisa menjebaknya lalu menombaknya ramai-ramai. Tapi tentu saja ini resikonya juga besar, sebab kita belum tahu seberapa ganas harimau itu. Saya khawatir harimau itu adalah harimau jadi-jadian yang sangat kuat, bukannya berhasil membunuhnya malah kita yang korban sia-sia.”
“Nah, yang kedua, ini penawaran saya selaku Kepala Desa kepada orang yang memiliki keberanian. Siapa saja yang bisa menangkap atau membunuh harimau itu, saya akan berikan hadiah berupa tujuh ekor sapi…”
Suasana pertemuan langsung ribut, setiap orang menanggapi tawaran itu dengan membincangkannya pada orang di sebelahnya. Aku sendiri berpikirpilihan pertamalah yang paling masuk akal. Bukankah itu yang menjadi ciri khas penduduk desa? Bukankah dengan bersama-sama keberanian akan semakin besar? Bukankah lidi akan sulit dipatahkan bila ia disimpul dengan lidi-lidi yang lain? Racun apa yang ada dlm pikiran Kepala Desa sampai dia mengeluarkan pilihan kedua itu. Mungkin dia ingin menarik simpati penduduk desa untuk pemilihan berikutnya. Atau mungkin saat ini dia sedang gembira karena akhirnya bisa membuat hamil Marni setelah dulu tak pernah bisa membuahi dua isterinya.
“Bagaimana? Adakah diantara kalian yang berani? Ini tujuh ekor sapi, loh!”
dia nampaknya mencoba menggoda pikiran orang-orang yang hadir dengan memainkan suaranya pada bagian kalimat yang mengiming-imingkan hadiah besar. Orang-orang hanya menanggapinya dengan ribut dan saling memandang satu sama lain. Belum ada tangan yang mengacungkan keberaniannya. Takkan pernah ada tangan yang mengacung. Dugaanku begitu.
“Aku!!”
semua orang terkesima mendengar suara yang keras penuh percaya diri. Mereka berpaling ke arah pintu, mereka sejenak terdiam, tapi tak lama mereka kembali bersuara ribut dan menggeleng-geleng.
“Tidak mungkin!!”
Apa yang tidak mungkin?apakah karena orang yang berdiri di pintu itu dan menawarkan keberaniannya adalah orng yang selama ini dianggap gila? Ataukah karena orang-orang ini mau menyembunyikan ketidaksanggupanya?
“Tenang!”
Suara Kepala Desa keras menghentak suasana. Dia berdiri dan menatap lelaki yang masih berdiri di depan pintu dengan tangan masih teracung. Dia melangkah mendekati lelaki itu.
“Kamu orang gila yang tinggal di pondok di tepi hutan itu kan? Kamu punya apa untuk melawan harimau itu? Jangan-jangan…”
Kepala Desa menghentikan kalimatnya. Kini mereka tepat berhadapan. Lelaki itu sudah menurunkan tangannya.
“Dulu desa kami tenang dan damai. Tapi sejak kamu datang, desa kami jadi dilanda musibah. Saya jadi curiga,jangan-jangan kamu yang bawa harimau itu ke sini. Atau mungkin kamu sendiri harimau itu…”
Orang-orang serempak berdiri. Wajah-wajah mereka nampak tegang. Aku lihat lelaki itu surut mundur oleh tekanan jari telunjuk Kepala Desa di dadanya. Dia tetap diam dengan wajah tenang.
“Ayo ngaku! Kamu harimau itu kan?!”
Lelaki itu masih tenang. Dia hanya surut langkah sedikit demi sedikit. Orang-orang melangkah mendekatinya. Aku jadi tegang.aku ingin dia menjawab tuduhan yang tidak berdasar itu. Aku ingin dia buka mulut menyatakan bahwa zaman sudah maju dan tak ada lagi harimau jadi-jadian. Tapi dia tetap diam dengan wajahnya yang tenang. Aku jadi tidak tahan.
“Jangan menuduh sembarangan!!” aku berteriak.
“Siapa yang menuduh sembarangan?! Jelas-jelas dia tidak bisa jawab pertanyaan saya!”
Suara Kepala Desa membahana. Wajahnya memerah geram. Orang-orang pun sudah ikut-ikutan menuding lelaki itu. Sementara itu lelaki itu pun sudah menampilkan wajah marah. Bibirnya bergerak seperti mengucapkan sesuatu. Aku mencium hawa kekerasan. Mendadak, lelaki itu bergerak berbalik dan lari.
“Kejar!! Tangkap dia!!”
Kepala Desa memberi komando orang-orang yang memang sudah bersiap-siap. Serentak mereka menghunus senjata dan mengejar. Aku ikut di belakang mereka, meski batinku tak membenarkan cara-cara kekerasan seperti ini. Harusnya lelaki itu diberi kesempatan membela diri. Membuktikan dirinya tidak bersalah dan bukan harimau jadi-jadian. Tapi apa mau dikata lagi. Suasana terlanjur panas.
Lelaki itu terus berlari, melesat ke tepi desa. Orang-orang masih terus mengejarnya. Teriakan-teriakan pembunuhan memenuhi langit senja. Lelaki itu terus berlari. Masuk ke ladang-ladang. Melompati pagar batu. Melewati parit. Meniti pematang sawah dan melesat masuk ke dalam hutan.
Orang-orang berhenti. Mereka ragu-ragu melanjutkan pengejaran ke hutan. Gelap mulai turun dan kabut membumi. Sementara tak satu pun diantara mereka yang membawa obor.
“Kita kembali. Hancurkan gubuknya!”
Kembali terdengar suara Kepala Desa membahana. Orang-orang menyambutnya dengan sorak sorai mengacungkan senjata-senjatanya ke udara.
Orang-orang berbalik menuju gubuk tempat tinggal lelaki itu. Sepanjang jalan mereka terus bersorak sorai mengacungkan senjata. Hawa kemarahan masih terpancar dari wajah-wajah mereka. Teriakan pembunuhan melambung jauh menembus cakrawala senja.
Di dalam gubuk lelaki itu mereka menemukan beberapa tengkorak dan tulang belulang binatang yang aneh. Juga banyak jenis senjata yang biasa digunakan berburu. Melihat semua itu, mereka semakin marah dan beringas. Dengan senjata yang ada mereka menghancurkan gubuk itu. Aku tak mampu mencegahnya. Tak ada yang mampu mencegahnya.


Sejak kepergian lelaki itu desa kami kembali tenang. Tak ada lagi harimau datang menebar maut. Penduduk desa kembali bekerja seperti sedia kala. Mereka seolah sudah melupakan kejadian itu. Suasana desa malah makin tenteram dan damai karena kejadian itu membuat persatuan warga desa kian erat. Hingga suatu malam terdengar erangan dahsyat menggema ke seluruh penjuru desa. Sumber suara dari rumah Kepala Desa.sebentar saja penduduk desa yang penasaran berkumpul di halaman rumah Kepala Desa. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa?” Aku bertanya kepada orang yang lebih dahulu tiba di sana.
“Katanya isteri Kepala Desa melahirkan.”
“Loh, apanya yang aneh?”
“Saya dengar dia melahirkan anak harimau.”
“Masya Allah.” Aku terkejut tak percaya. Segera aku melompat masuk ke dalam rumah hendak menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Aku menyeruak di antara kerumunan orang di pintu kamar. Di dalam sekilas aku lihat Kepala Desa bersimpuh menangis membentur-benturkan kepala ke dinding. Dia nampak tak kuasa menerima kenyataan yang menimpanya. Di depannya sesosok tubuh terbujur ditutupi kain panjang.
“Siapa yang dibungkus kain panjang itu?” Aku bertanya pelan kepada wanita tua yang berdiri di depanku.
“Itu Marni. Dia meninggal setelah melahirkan bayi harimau.”
Aku diam terenyuh. Setetes air mata mengalir perlahan. Bagaimanapun aku pernah mencintainya. Banyak kenangan masa kecil yang kami ciptakan bersama. Aku berjalan lunglai keluar, tak kuasa menyaksikan tragedi itu lama-lama.
Esoknya menjadi hari duka cita seluruh penduduk desa. Berduyun-duyun mereka mengantar jenazah Marni ke pemakaman. Di depan sekali Kepala Desa berjalan dengan menggendong bayinya yang dibungkus rapat dengan kain sarung. Wajah Kepala Desa sangat sedih. Aku terharu menyaksikan kebesaran cintanya kepada Marni.
Prosesi pemakaman berlangsung haru penuh khidmat. Hampir tak ada suara lain yang terdengar kecuali doa bagi almarhumah. Hingga aku lihat Kepala Desa berjalan meninggalkan tanah pekuburan dengan membawa bayinya. Dia berjalan ke arah hutan diikuti beberapa orang penduduk desa. Di tepi hutan aku lihat dia meletakkan bayinya di bawah sebuah pinus. Dia duduk cukup lama di situ.hingga akhirnya dia berdiri dan melangkah kembali ke arah desa.
Ternyata musibah yang menimpa Kepala Desa hanyalah awal dari kejadian aneh yang melanda desa. Sebulan kemudian aku dengar ada lagi seorang ibu yang melahirkan bayi harimau. Bahkan kejadian itu terus berulang sampai beberapa bulan kemudian. Hingga ada empat orang perempuan lagi setelah Marni yang melahirkan bayi harimau. Entah apa yang menimpa desa kami? Dosa besar apa yang telah dilakukan penduduk desa hingga harus menerima malapetaka sebesar ini? Yang jelas musibah itu telah membuat suasana desa kembali tidak tenang. Penduduk desa menjalani hari-harinya tanpa semangat. Suami-suami jadi takut menggauli isteri-isteri mereka. Para pemuda dan pemudi pun tidak berani menikah. Di jalan-jalan jarang sekali terdengar suara anak kecil bermain. Yang ada hanya mayat-mayat hidup yang bekerja tanpa tujuan. Banyak penduduk desa yang tidak tahan dengan keadaan lalu pindah ke desa lain. Sebagian lainnya merantau ke kota. Aku sendiri tetap bertahan, meski merasa kehilangan masa depan.


Siang itu aku duduk di dangau setelah mengerjakan sawah. Aku bukannya beristirahat, hanya sering rasa malas itu datang bila membayangkan masa depanku. Aku pandangi sawahku. Betapa perihnya membayangkan kalau tak akan pernah ada keturunanku yang menikmati hasilnya. Lalu untuk apa berpayah-payah mengurusnya. Aku alihkan pandangan ke arah desa. Nampak atap-atap rumah di antara pohon-pohon. Dulu, jika aku duduk di dangau ini, dpt kudengar suara tawa dan canda anak-anak bermain di desa. Dulu, jika aku duduk di dangau ini, selalu kulihat penduduk desa yang bekerja di sawah atau menemaniku berbincang dan minum kopi. Ach. Hampir lima tahun kami hidup tanpa semangat dan tak mampu berbuat apa-apa untuk melawan kutukan ini. Hanya pasrah tanpa usaha. Lima tahun rasanya waktu yang sangat panjang dan melelahkan untuk bertahan hidup dalam kecemasan. Cemas mengingat usiaku yang sudah seperempat abad dan tidak berani menikah. Sementara dulu, orang seusiaku rata-rata sudah memiliki anak satu atau dua.
Lamunanku buyar oleh suara siulan sayup-sayup dari arah hutan. Aku menoleh. Tak ada siapa-siapa di tepi hutan. Aku menunggu. Tak lama mulai terlihat empat orang pemuda dengan tas besar di punggung masing-masing berjalan keluar dari hutan. Aku duga mereka pendaki yang tersesat. Desa kami memang berada di kaki gunung, tapi sangat jarang ada pendaki yang lewat di desa kami, karena medan yang akan dilalui sangat terjal dan berbatu cadas. Hanya pendaki gila dan cari mati yang berani memulai pendakian dari desa kami.
“Permisi, bang!”
Mereka menyapaku dengan santun. Aku lihat kelelahan di wajah mereka, meski tampak gembira.
“Mari, singgah dulu. Barangkali mau istirahat!”
Mereka menurunkan tas yang berat, lalu ikut duduk di dangau. Aku tawarkan air minum dan tembakau, dengan sangat bersemangat mereka menerima tawaranku.
“Habis mendaki gunung?”
“Iya, bang.” Serempak mereka menjawab, lalu salah seorang di antara mereka menunjuk ke arah puncak gunung.
Aku masih ingin bertanya, tapi aku lihat mereka tengah kesulitan menggulung tembakau yang aku berikan. Aku ambil sejumput tembakau dan kertas rokok, lalu mengulungnya perlahan. Mereka mengikuti caraku hingga akhirnya mereka bisa, lalu dengan korek kayu aku sulutkan rokok mereka satu per satu. Mereka tertawa senang.
“Apa kalian memang merencanakan lewat desa ini?”
“Tdak, bang. Waktu turun dari puncak, kami memutar, mencoba cari jalur yang lebih dekat. Eh, malah tersesat. Lima hari kami terus berputar-putar cari jalan. Sampai ransum kami habis. Untungnya kami bertemu seorang lelaki tua bersama lima orang anaknya yang masih kecil-kecil. Dialah yang menunjukkan jalan ke desa ini.”
Aku terkejut mendengar jawaban dari pemuda berbaju kaos hitam polos. Setahuku, tak pernah ada orang yang tinggal di hutan itu, apalagi dengan anaknya yang masih kecil-kecil.
“Kalian ingat ciri-ciri lelaki tua itu?”
Salah seorang di antara mereka menyebutkan ciri-ciri lelaki tua itu dengan jelas. Aku menyimaknya dengan seksama. Dari gambaran yang disebutkan aku jadi penasaran dan menduga-duga, walau belum berani memastikan, di benakku telah hadir satu bayangan buram. Lalu aku meminta mereka memberitahuku arah menuju tempat pertemuan mereka dengan lelaki tua itu. Dengan bergantian mereka memberi petunjuk hingga aku ingat dan mengerti.
“Aku mau jalan-jalan sebentar. Kalian mampirlah ke desa. Ceritakan apa yang terjadi pada kalian, orang-orang desa akan dengan senang hati membantu. Tapi saya minta kalian jangan ceritakan pertemuan kalian dengan lelaki tua di hutan. Cukup katakan kalian tersesat. Soalnya saat ini penduduk desa ditimpa musibah. Saya khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi…”
Ada kerut di kening mereka saat mendengar permintaanku. Tapi mereka tidak bertanya. Mereka hanya mengambil tas dan berjalan ke arah desa, setelah terlebih dahulu bersalaman. Jabat tangan khas pencinta alam kata mereka.


aku berdiri di depan sebuah gubuk di tengah hutan. Meski agak reot, gubuk itu cukup terawat. Di bagian depan ada balai-balai bambu dan kayu bakar ditumpuk rapi. Ada bekas api unggun di halaman samping kiri dan beberapa mainan anak-anak yang terbuat dari kayu tergeletak di sekitarnya. Ragu-ragu aku melangkah mendekati pintu.
“Assalamu alaikum…”
aku ketuk pintunya pelan. Belum ada jawaban dari dalam. Ingin kuketuk sekali lagi, tapi pintu itu perlahan bergerak membuka ke dalam. Sesosok lelaki berdiri di hadapanku. Dia menatapku cukup lama, hingga akhirnya bibirnya bergerak pelan mengucap kata.
“Masuklah!”
“Di luar saja. Di balai-balai ini.” Ragu dan sedikit takut aku menolak ajakannya. Ada bayangan hitam masa lalu melintas di benakku.
“Di dalam akan lebih santai.”
Dia berbalik melangkah ke dalam. Aku ikuti langkahnya dari belakang, takut dia tersinggung dan marah jika ajakannya aku tolak dua kali. Aku edarkan mata ke seluruh penjuru ruangan. Hampir tak ada perabot kecuali sebuah panci usang tergantung di dinding dan sebuah cerek diatas tungku dari batu persegi yang disusun. Di sebelah kiri aku lihat lima orang anak kecil tidur berjajar di sebuah balai-balai beralaskan tikar daun lontar. Di dinding di atas balai-balai itu ada hiasan tengkorak binatang dan busur dengan anak panahnya. Di sebelah kanan juga terdapat sebuah balai-balai, dan lelaki itu telah duduk di sana. Dia mengajakku ikut duduk. Aku ke sana dan duduk menjuntaikan kaki ke lantai tanah.
“Kamu tersesat?” Dia bertanya dengan suara pelan, sepertinya agar tidur anak-anak itu tidak terganggu.
“Tubuhku mungkin tidak, tapi pikiranku tersesat entah dimana. Banyak pertanyaan yang semestinya terjawab. Namun semua begitu gelap”
Dia tersenyum, lalu diam dan memejamkan mata, berusaha mencari kemana pikiranku tersesat, atau mungkin hendak mengusir kegelapan yang sembunyikan jawaban.
“Aku hanya seorang lelaki tua yang rindu tanah kelahiranku. Sayang, ternyata aku tak pernah pulang, aku hanya mampir.”
Suaranya terasa bergetar menahan luapan emosi di dadanya. Aku diam, membiarkan dia larut dalam kenangan hidupnya.
“Lima tahun yang lalu aku mencoba datang dengan kerinduan yang sangat besar. Tapi yang aku dapatkan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku jadi orang asing di negeri sendiri. Tak ada yang mengenalku dan tak ada yang ingin mengenalku. Bagi mereka aku hanya orang gila yang kesasar. Bahkan saudaraku sendiri menganggapku harimau jadi-jadian dan menyuruh penduduk desa membantaiku…”
“Jadi, Kepala Desa itu saudara bapak?” Aku semakin tidak mengerti, seperti ada misteri dengan banyak tanda tanya.
“Aku Bidin, dan Sikin adalah adikku. Sekita tiga puluh lima tahun yang lalu kami terpisah. Waktu itu kami sedang bermain di tepi hutan, mencari batang bambu untuk bikin mainan. Saat itu kami lihat cahaya yang sangat berkilau dari tengah hutan. Aku sangat tertarik. Aku ajak Sikin ke sana mencari sumber cahaya itu, tapi dia takut dan menangis. Lalu aku tinggalkan dia sendiri dan berlari masuk hutan, terus berlari ke arah cahaya itu. Sayang cahaya itu tak pernah aku temukan, sampai sekarang. Aku malah tersesat tak tahu jalan pulang. Tinggallah aku di sini, jadi manusia hutan. Hidup berburu binatang-binatang hutan. Pikiranku hanya bagaimana aku bisa bertahan hidup, agar bisa terus mencari jalan pulang. Akhirnya lima tahun yang lalu sebuah jalan terbuka untuk pulang, dan aku kecewa…”
“Lalu bagaimana dengan mereka?” Aku memalingkan wajah ke arah anak-anak kecil yang masih pulas.
“Merka adalah korbandari ketidakmampuan orang tua mereka menghadapi kenyataan. Saat itu mata hati orang tua mereka buta, hingga tak mampu melihat kesucian bayi mereka. Yang mereka lihat adalah bayi harimau, binatang yang dulu sangat ingin mereka bantai. Akhirnya nasib bayi-bayi itu berakhir di tepi hutan. Lihatlah mereka! Mereka juga manusia seperti kita. Seperti aku. Seperti kamu. Seperti orang tua mereka…”
Aku pandangi bocah-bocah itu bergantian satu per satu. Tak ada kebuasan di wajah mereka. Yang nampak hanya wajah-wajah polos dan lucu.
“Mereka seperti sangat lelah setelah bermain.”
“Ya. Salah seorang di antara mereka adalah k,eponakanku.”
“Ya. Salah seorang di antara mereka adalah anak Marni. Perempuan yang pernah aku cintai.” Aku mengucapnya dalam hati. Tiba-tiba aku ingat Marni.
“Kau dengar suara-suara itu? Sepertinya orang-orang mencarimu. Pulanglah! Katakana kutukan itu tak pernah ada.”
Lelaki itu menyentuh pundakku, membuyarkan serpiha-serpihan gambar Marni yang baru aku rangkai. Aku coba pusatkan perhatian. Memang dari kejauhan sayup-sayup aku dengar ada yang memanggil namaku.
“Ikutlah denganku, biar aku yang jelaskan semuanya kepada penduduk desa.”
Aku coba membujuknya dengan meraih tangannya, tapi dia menampiknya dengan halus.
“Tempatku di sini. Tempat anak-anak itu juga di sini. Aku tak akan pernah kembali lagi, tapi anak-anak itu suatu saat akan kembali ke tanah kelahiran mereka.”
”Biarlah anak-anak itu ikut denganku sekarang.”
“Tidak! Mereka belum siap, dan orang-orang itupun belum siap. Pergilah sekarang, atau kau akan hilang!”
Dia menuntunku berdiri dan menggandeng tanganku berjalan ke arah pintu. Mendadak, kepalaku seperti tersentak, aku lihat pintu berputar dan terus berputar seperti gasing menimbulkan pijaran warna-warna yang gemerlap. Dari pusat pusaran itu aku rasakan kekuatan besar yang menarikku masuk ke dalamnya. Lalu semua jadi gelap dan hening.
“Dimana aku?”


Saat aku membuka mata, samar-samar terlihat ada beberapa orang berdiri di sekitarku. Aku edarkan pandanganku yang semakn jelas ke segala penjuru. Di belakangku nampak bekas bangunan yang hancur, dan orang-orang di sekitarku tersenyum lega entah karena apa. Tempatku duduk saat ini adalah sebuah balai-balai bamboo yang telah lapuk oleh deraan cuaca. Aku ingat, di balai-balai ini pernah aku lihat seorang lelaki duduk mengasah senjatanya.
“Rusli, apa yang terjadi? Dua hari kami mencarimu. Kau seperti hilang ditelan bumi. Lalu tiba-tiba muncul di sini.”
Seseorang diantara mereka memberondongku dengan banyak kata ketika pikiranku hanya ingin mencerna kejadian yang baru saja aku alami. Sedikit demi sedikit kejadian itu terangkai membentuk sebuah kisah utuh. Kisah tentang satu perjalanan.
“Aku mau bicara dengan Kepala Desa!”
“Aku di sini Rusli. Apa yang mau kamu bicarakan?”
Kepala Desa menyeruak diantara kerumunan orang-orang dan berdiri tepat di depanku. Sepertinya dia baru saja datang.
“Aku hanya ingin Bapak bercerita tentang orang yang bernama Bidin dan apa yang terjadi tiga puluh lima tahun yang lalu?”
Aku lihat perubahan cepat terjadi di wajah Kepala Desa. Dia semakin murung dan sedih. Tubuhnya tiba-tiba lemas dan jatuh terduduk di balai-balai. Sejak kematian Marni wajahnya terus murung, dan kini aku membuatnya semakin murung dengan mempermainkan kenangannya.
“Dia kakakku. Tiga puluh lima tahun yang lalu saat kami bermain, dia berlari masuk hutan dan menghilang. Bapakku dan warga desa berusaha mencari, tapi berhari-hari bahkan berbulan-bulan tak ada yang menemukannya. Dia sama sekali tidak meninggalkan jejak. Tak putus asa bapakku terus berusaha. Sampai bapakku memanggil dukun untuk membantu mencarinya. Dukun itu mengatakan kalau kakakku disembunyikan oleh jin dan dibawa ke alam jin. Akhirnya kami menyerah. Tapi saat itu dukun sempat meramalkan kakakku akan kembali ke sini setelah tiga puluh tahun. Oohh… itu semestinya lima tahun yang lalu…”
Setelah itu tak ku perhatikan lagi apa yang diucapkan oleh Kepala Desa. Karena jauh di sana terlihat cahaya kecil yang sangat berkilau dar itengah hutan. Di tepi hutan itu juga aku lihat harimau besar berjalan ke dalam hutan diikuti lima ekor anak harimau. Mereka berjalan beriringan menuju cahaya itu. Sayang hanya aku yang menyaksikannya.

Makassar 02042003