Sabtu, 13 September 2008

CINTA PARA PENCINTA


Mereka tidak tahu siapa yang memulai
Tapi mereka tahu mereka saling mencintai
Keberpaduan layak sepasang jiwa
Keberpaduan unsur jamaliyah dan kamaliyah


“Ini terlalu mudah, sayangku. Cinta sangat berpihak pada kita, tak ada halangan berarti.”
Ia melempar kerikil ke danau tenang, kerikil itu langsung tenggelam, ia gagal membuatnya memantul beberapa kali di permukaannya. Dia terlihat kecewa.
“Bukankah kita yang menciptakan jalan ini? Atau kau telah lelah menjalaninya?”
Gadis itu menelungkupkan tubuh, lalu menekuni kembali bacaannya. Tapi ia telah terusik dengan perkataan kekasihnya.
“Aku tidak butuh tantangan, sayang. Aku hanya merasa aneh dengan semua kewajaran ini. Terlalu mudah buat kita”
Gadisnya terdiam, mungkin berusaha merangkum kembali serakan konsentrasinya. Kini dia merayapi kesepiannya sendiri. Ini pertama kali dia merisaukan hubungan cintanya.
Dia tidak ingin mendustai hatinya. Tujuh tahun bukan masa yang singkat untuk berpacaran. Selama itu mereka tak pernah didera persoalan yang mengancam hubungan mereka. Dia merunut awal kebersamaan mereka. Perkenalan dengan Anisa nyaris tanpa kesan. Hanya keseringan bertemu membuat perhatian itu hadir diantara mereka. Mereka saling mencintai, tapi tak melalui pengungkapan rasa. Secara sadar mereka tahu bahwa mereka saling membutuhkan. Secara sadar mereka tahu kalau diantara mereka ada keberpaduan jiwa yang tak harus diungkapkan. Syarat telah terpenuhi. Keberpaduan wajar yang hampir biasa-biasa saja. Bahkan kapan tepatnya mereka mulai menjalinnya, mereka sendiri tak pernah tahu. Mereka hanya tahu ada proses yang telah mereka lewati hingga tiba pada titik kesepakatan hati.
“Mungkin engkau butuh sedikit keajaiban”
Setelah dulu dia tak pernah bertanya, kini dia mulai merasa kalau cinta yang wajar-wajar ini menggelisahkan. Memang cinta yang mereka jalani agak aneh. Orang tua Anisa bahkan merestui hubungan mereka, meski ada strata sosial yang sangat jauh berbeda. Dia ingat, betapa dulu Anisa sangat khawatir mempertemukannya dengan orang tuanya. Tapi ketika pertemuan itu terjadi, semua berjalan lancar penuh harmoni. Tak seperti kisah Romeo dan Juliet.
“Dengan apa kau lunakkan hati yang membatu itu!!”
Memang cinta yang mereka jalani agak aneh. Tak ada riak-riak kecilpun yang membuatnya bergoyang. Sungguh dia sangat mencintai kekasihnya dan diapun tahu sebaliknya. Tapi kali ini dia hanya ingin bertanya….
“Mungkin engkau butuh sedikit keajaiban”
“Ya. Buatlah aku sedikit cemburu”
Tapi dia tak pernah bisa mencemburui apapun. Dia sangat tahu kadar cinta Anisa kepadanya. Dan Anisa pun tak pernah bisa mencoba membuatnya cemburu. Selama ini mereka sangat bahagia, bahkan saat menangis.
“Andai kenikmatan badani tak mengotori hati, akan kutekuk belikatku untukmu”
“Takkan kucederai rusukku dengan penetrasi singkat!”
Dia mencintai Anisa dengan meletakkan birahi dalam pasungan akal, lalu membunuhnya secara perlahan-lahan. Mensucikan dan mewangikan batinnya. Dia sangat mencintai Anisa. Tapi kali ini dia hanya ingin bertanya….


Dia menggelengkan kepala. Pertanyaan ini tak layak diutarakan kepada Anisa. Dia tercenung gelisah mengetahui pertanyaannya akan sulit terjawab. Dia harus mencari sendiri jawaban dari pertanyaannya. Dia membuat riak kecil air danau dengan puntung rokok dan merambati udara dengan asap yang dihembusnya bersama dengusan. Batang kretek itu bukanlah teman berkontemplasi sesungguhnya. Dia melukis sebuah ilustrasi di permukaan danau. Lingkaran yang saling berlomba untuk menjadi besar, lalu menenggelamkan dirinya dalam lingkaran terakhir, menggapai lubuknya dan bermeditasi. Sebuah jawaban menggelembung bersama sebuah pertanyaan baru.
“Tuhan memiliki rencana besar di balik kewajaran ini”
“Ya, Tuhan. Rencana besar apa yang Engkau siapkan buat kami?”
Dan menciptakan sesak parah di dada. Kini yang dia butuhkan adalah oksigen.


“Mungkin sudah saatnya kita membuat erat ikatan ini”
Anisa mengusaikan bacaannya dan membuyarkan pengaruh oksigen dalam dadanya. Dia sesak lagi. Terkejut dan bahagia.
“Aku mencintaimu dan sangat ingin menjadikanmu mempelai lahir batinku. Hanya saja kebingungan menguasai pikiranku.”
Dia menggumpalkan nafas dalam dada, lalu menjadikannya kristal yang berkilau. Tak lagi dihembuskan, tapi diurainya melalui sudut mata. Tangis kebahagiaan. Kebahagiaan yang membingungkan.
“Selama ini kita saling berbagi, walau itu kebingungan.”
Anisa menyentuh tangannya, mengalirkan kekuatan untuk berbagi.
“Dalam cinta kita ada keterlibatan satu kekuatan besar yang meletakkan kita pada kebersamaan yang bermoral. Kekuatan yang mengatur awal dan akhirnya, kekuatan yang Mahaberkehendak dan tetap merahasiakan kehendaknya itu pada kita.”
“Engkau mengisahkan ini seolah ini adalah misteri.”
“Ya. Misteri yang menyelimuti masa depan. Tak ada yang mampu menjamin kebersamaan ini untuk selamanya.”
Dia mendesahkan selaksa kegelisahan pada angin. Betapa berat beban yang ditanggung oleh angin atas kegelisahan itu.
“Dan kematian menjadi media yang paling pasti membelah kebersamaan kita.”
Dia rasakan debar jantung Anisa meningkat. Dia menginterpretasinya sebagai kecemasan. Cinta bahkan berbagi kecemasan.



Elegi….
Nadanya tangis dan jerit
Lagu jiwa tak berdaya
Hadapi takdirnya



Dia masih berdiri di tepi danau, menatap jauh ke seberang. Dia lihat seorang lelaki tua begitu sabar menanti kailnya disentuh oleh ikan. Sebuah pemandangan yang sangat berharga. Lama dia terpaku di sana. Dia sadar tak mampu sesabar lelaki tua pencari ikan. Betapa sulit menerima kenyataan bahwa dia bukan lelaki yang tegar menghadapi perpisahan. Betapa pedihnya mengetahui mereka akan terpisah oleh kematian, sedang dia tak pernah ingin melerai jiwa yang telah satu. Dia tak ingin kebersamaan mereka dibayangi kematian yang mungkin tragis. Dia mendesah. Tak seharusnya dia memiliki perasaan yang berlebihan dan skeptis. Dia menunduk, meraih sebutir kerikil dan melemparkannya ke tengah danau. Kerikil itu langsung tenggelam. Dia gagal membuatnya memantul beberapa kali.
“Andai kita bisa bermasa bodoh dan menganggap ini bukanlah hal yang besar?”
Anisa memecah kebekuan di antara mereka. Dia tahu Anisa lebih menawarkan ketakutannya daripada solusi.
“Kita mungkin bisa melakukannya. Tapi apakah kita mampu menjalani kebersamaan dalam bayang-bayang kematian? Andai besok salah seorang di antara kita mati dan seorang lagi hidup sebagai sentenarian, apakah jiwa kita mampu menahan pedihnya perpisahan dan jauhnya jarak masa yang ditempuh hingga jiwa kita berpadu kembali di alam lain? Aku tak ingin jiwa kita dipisahkan oleh kematian…”
Dia dekap kegelisahannya. Perasaan cinta membuatnya tak tega meninggalkan kepedihan bagi kekasihnya. Betapa merananya jiwa yang sendiri menanggung perpisahan.
“Aku takut menghadapi saat itu. Aku takut kematian menjauhkanmu dari aku. Akupun takut pada apa yang ada dalam dirimu kini. Dulu kau tak pernah memiliki kebencian pada sesuatu, kini nada suaramu menyiratkan kebencian yang sangat pada kematian…”
“Kebersamaan cinta tak seharusnya memberikan ketakutan dan kebencian pada kematian. Sekarang ketakutan dan kebencian itu datang menjajah kuasai perasaan kita dan mungkin akan menyeret kita menuju dosa, memaki takdir dan menyalahkan Tuhan. Kematian bukanlah musuh yang harus ditakuti dan dibenci. Tapi kebersaan cinta telah menjadikan kita pecundang yang tak kuasa mengikhlaskan kepergian kekasihnya walau sesaat dan terus mereka-reka waktu pertemuan kembali. Kitalah jiwa yang sakit. Jiwa yang menderita fobia pada kematian. Kita tak seharusnya berada pada sisi itu.”
”Hinalah kita yang menafikan kematian dengan mengatasnamakan cinta.”
Anisa menangis. Satu ketakutan dapat meluruhkan seluruh cinta yang dimiliki. Satu ketakutan dapat menggusur cinta yang selama ini bersemayam dalam dada dan merubahnya menjadi sekedar kefanatikan pada dunia.
“Andai rahasia alam telah terkuak dan kita tahu jiwa kita tetap satu di kehidupan setelah kematian, kita takkan tersesat dalam dilema ini, dalam keingintahuan pada rencana besar yang Tuhan siapkan bagi kita. Barang kali Tuhan menyatukan kita dalam kebersamaan di dunia ini tapi akan memisahkan kita di alam setelah kematian karena kebencian dan ketakutan kita pada kematian….”
“Jika itu yang harus terjadi, aku akan memilih kebersamaan jiwa setelah kematian. Tak bermakna bagiku kebersamaan, sedang dalam jiwa kita ada kebencian dan ketakutan yang menggerogoti kesuciannya.”
Anisa bergumam amat lirih, terlihat ia mencoba tegar menahan tangis.
“Seperti aku memilih kebersamaan yang abadi, yang tak diantarai oleh kematian.”
“Setelah perpisahan ini, mungkin aku akan berharap kematian itu segera datang. Semoga ketegaranku tetap menyertai menjalani takdir. Jika ketegaran pun pergi, aku tak yakin bertahan untuk tidak bunuh diri….”
“Tidak, sayang. Bunuh diri menyalahi takdir kita. Walau saat ini pun kita telah lari dari takdir, tapi menuju takdir yang kita yakini lebih baik. Perpisahan memang menyakitkan. Dan kesendirian kadang membuat manusia berhenti belajar lalu lebih banyak melamun dan sentimentil. Seharusnya perpisahan ini akan memberi banyak waktu buat kita untuk belajar dan mengerti. Memerdekakan jiwa kita dari kebencian dan ketakutan pada kematian. Mengetahui kematian akan membuat kita memiliki banyak alasan untuk tetap hidup. Mengetahui kematian akan mengantarkan kita pada satu tujuan hidup.”
Dia berdiri menatap Anisa dengan mata yang berkaca-kaca. Di sana segelayut mendung menutupi sinar wajah yang dahulu selalu cerah. Dia berpaling. Tak sanggup menyaksikan pemandangan yang menghampakan jiwa. Dia ingin menjerit, berteriak memanggil ketabahannya. Yang datang hanya gerimis jatuh satu-satu menimbulkan sketsa buram di danau kesedihannya. Dan flamboyan menggugurkan daun-daunnya, pada musim yang semestinya semi.


Di hadapan mereka telah terbentang sebuah jalan pencerahan yang mungkin berliku dan panjang. Perjalanan tempat menempa hati dan jiwa, melenyapkan kebencian dan ketakutan. Erat tangan mereka saling menggenggam. Dia merengkuh kekasihnya dalam dekapan haru. Terbayang seberapa besar kerinduan yang akan hadir setelah perpisahan.
“Jika kau rindukan aku saat siang, berilah salam pada terang. Aku akan hadir bersama bias cerah matahari. Jika kau rindukan aku saat malam, berilah salam pada pekat di jendela. Aku akan menghampiri bersama mimpi indah….”
Lirih dia membisikkan harapan, mencoba mengalirkan ketenteraman di telinga Anisa, meski jiwanya sendiri pun tak pernah tenteram.
“Bila nanti di alam lain jiwa kita bertemu dan aku tak mengenalimu lagi, bukan berarti aku telah melupakanmu. Tapi aku telah butakan mataku agar dunia tak membuainya dengan wajah-wajah fana. Bila kau temukan aku, berilah salam. Akan kusingkap mahligai pelaminan menyambut kekasih jiwaku datang menjemputku menuju keabadian.”
Dia larut dalam kata-kata Anisa, suara itu seperti cemeti yang mendera seluruh usianya, membekaskan sebuah janji….
“Takkan ada di antara kita yang menunggu lama.”


Hati yang ditikam cinta
Akan mengadu pada malam
Bersenandung lagu pilu di kesunyian
Aku akan hidup oleh cinta
Aku akan mati oleh cinta


Dia, Rijal. Lelaki tua sendiri dan sepi. Di garis-garis wajahnya terpahat ketegaran dan ketenangan menjalani hidup. Terbersit cahaya surga dari jiwa yang sarat menyimpan kerinduan dan cinta. Tegar yang sangat pantas dan merdeka.
“Andai air mata mampu melegakan dahaga kerinduanku padamu, akan kureguk ia habis meski dengan cawan kepedihan.”
Dia, Rijal. Selalu berdiri di tepi danau sejak hari mulai menua. Menghitung rentan hidup dalam rotasi waktu. Bersama kepasrahan dan tawadhu. Di danau itu telah dia larungkan semua derita dan kepedihan perang melawan kebencian dan ketakutan.
Dia, Rijal. Sejak saat itu, memiliki jiwa yang bebas, meniti dimensi demi dimensi, menjelajahi ruang dan waktu. Bercengkerama dengan roh-roh manusia yang telah mati atau roh-roh manusia yang belum lahir. Roh-roh yang bersahabat. Seringkali roh-roh itu singgah ke tepi danau, mengucap salam bagi yang masih terus berdiri menanti malaikat menjelang.
Dia, Rijal. Menyaksikan roh kekasihnya melayang bahagia di mahligai pelaminan indah. Bersanding penuh cinta bermempelaikan kematian. Dan ribuan bidadari cantik bernyanyi sonata suargaloka, mengantar jiwa yang tersenyum menuju maqam keabadiannya.
“Salam bagimu, Anisa. Duhai kekasih jiwaku. Jiwamu telah tenteram penuh cinta. Setelah puluhan tahun didera berbagai derita kepedihan hidup. Dahsyat dan rawan. Kini kau bisa tersenyum bahagia, telah tiba di akhir perjalanan hidupmu, tanpa kebencian dan ketakutan.”
“Salam bagimu, Anisa. Duhai jiwa yang menggenggam jiwaku. Kaulah pemilik hati bijak bestari, yang tak terjajah oleh rasa takut dan benci. Begitu teguh menahan nafsu duniawi dan memekur diri mencari keabadian. Memelihara cinta dan kerinduanmu tetap suci mewangi kesturi.”
“Salam bagimu, Anisa. Duhai jiwa yang menghidupkan jiwaku. Seperti dirimu, aku pun kini telah mengerti. Kematian tak datang bagai siluman yang tiba-tiba muncul mengayunkan pancungnya ke leher. Tapi kematian selalu ada menyertai di sisi kehidupan. Kematian bukanlah terhentinya nafas, dialah udara bagi nafas kehidupan. Kematian bukanlah terhentinya detak jantung, dialah detak bagi jantung. Kematian dan kehidupan mengalir seiring dalam nadi dan menggerakkan tubuh-tubuh para pencinta yang mencari keabadian. Para pencinta yang menanggalkan simbol-simbol keduniaan lalu melangitkan milliaran puja pada Tuhan. Kematian bagi kehidupan, seperti air bagi danau. Danau hanyalah sebuah lubang besar bila tanpa air. Kematian dan kehidupan bagi para pencinta, tak berarti apa-apa bila tanpa cinta.”
Dia, Rijal. Lelaki tua sendiri dan sepi. Berdiri di tepi danau. Dengan tangan yang telah lemah dia lemparkan kerikil ke tengah danau. Dia berhasil membuat kerikil itu memantul beberapa kali di permukaan danau, lalu akhirnya tenggelam. Dia tersenyum. Telah banyak jawaban dari ujian hidup dia temukan di sana. Dan flamboyan pun menggugurkan daun-daunnya, pada musim yang semestinya semi.

Makassar 29 Maret 2003.

BADIK DAN BAWAKARAENG

Di masa itu…
Ketika tiada yang mengerti lelahmu
Dan beban tak dapat kau lepas dari pundakmu
Angkara murka bagimu mustika berharga
Kau tak hidup di hari kemarin dan esok

“Bangunlah anakku, tidakkah kau rindu Bawakaraeng?”
Berdiri jumawa di puncaknya
Dengan badik yang kau peroleh dari halilintar
Menantang mendung maha mendung

Di sana…
Di bumi yang dipenuhi bara dendam
Pun cakrawala tertutup teriakan pembantaian
Gunungan dosa yang dititip pada Bawakaraeng
Tak mampu dipikulnya sendiri

“Bangunlah anakku, Bawakaraeng memanggilmu”
Hanya engkau yang mampu redakan murkanya
Dengan badik dari halilintar puncak Latimojong
Takdirmu menggurat tanah Celebes

Dari titik ini…
Dari kakinya hingga jalur Lompobattang
Hantu dan jin yang pernah bercengkerama
juga tak bisa mengerti
Amarah apa yang bisa membunuh cinta

“Bangunlah anakku, Bawakaraeng telah menunggu”
Kau anak yang lahir ketika hujan bintang jatuh ke bumi
Berjuta mahluk bersesaji harapan
Selipkan badik di pinggangmu

Entah di mana…
Dari kakinya hingga jalur Lompobattang
Warangka yang sejak lama kau cari
Hanya sejengkal dari tanah
Yang entah di mana

“Bangunlah anakku, pinus Bawakaraeng merindumu”
Kau anak yang dianugerahi naluri
Temukan warangka dari salju abadi
Redakan api dari badik halilintarmu

Awal perjalanan…
Kau dengar angin membisikimu arah
Dan dingin membalutkan semangat
Kehidupan baru yang kau impikan dalam buaimu
Tak jauh lagi

“Bangunlah anakku, kabut takkan tutupi pandangmu”
Kaulah yang memiliki garis tangan
Menyatukan badik dan warangka yang terpisah
Ribuan tahun sejarah

Di ketinggian…
puncak yang tertutupi awan
Sebuah monumen abadi kau bangun dari cinta
Cerita tentang amarah yang telah reda
untuk selamanya

Anakku, jika suatu masa kau rindu Bawakaraeng
Saat itu Bawakaraeng pun merindukanmu
Karena setiap setahun perpisahan
Ketinggian Bawakaraeng terus bertambah
Oleh cinta dan ketakutan