Rabu, 04 Februari 2009

KALAH


setetes air jatuh
seirama detak jam
serangkum luka luruh
bersama keruh dendam

Makassar 10022004

Senin, 02 Februari 2009

BINGUNG


Kalau hatimu telah seluas samudera
Dan cintamu setenang pantainya
Apakah aku harus berlayar atau berlabuh?

Makassar 17012002

TANYA GADIS MALAM

Dia masih duduk di sana, di tembok yang menjadi batas antara laut dan darat kota makassar. Sendiri. Seperti malam kemarin, juga beberapa malam sebelum kemarin. Aku tahu sebab aku mengamatinya. Setiap kali keluar dari tempat kerjaku dia pasti telah ada di sana, duduk sendiri memandangi lautan dan mencumbui aroma malam. Terlihat begitu sepi di antara bising mesin motor dan riuh manusia yang rela menukar waktu tidurnya demi hasrat pemuasan jiwa-jiwa phobia mereka. Atau mungkin mereka manusia insomnia yang tidak merelakan waktu tidurnya dikuasai oleh setan-setan neraka yang tidak saja sebagai pemeran utama dalam mimpi buruk mereka, bahkan barangkali setan-setan neraka pula yang menjadi sutradara yang merekayasa mimpi-mimpi indah mereka.
Dia masih duduk sendiri di sana, tanpa peduli pada orang-orang yang berseliweran di sekitarnya. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara-suara, oleh temaram merkuri yang membentuk warna kekuningan di wajah-nya, oleh tabrakan aliran musik dari tip compo di setiap gerobak pedagang kaki lima. Dari gerobak yang menawarkan jajanan seafood berkumandang lagu dangdut.

“selamat malam duhai kekasih
sebutlah namaku menjelang tidurmu
bawalah aku dalam mimpi yang indah
di malam yang dingin sesunyi ini”*

Lalu dari gerobak pedagang minuman dan jus terdengar vokal sangar Bruce Dickinson punggawa grup musik cadas Iron Maiden, membawa kegelapan melejit menuju kehampaan yang misterius.

“fear of the dark. fear of the dark
i have constant fear that something’s always near
fear of the dark. fear of the dark
i have a phobia that someone’s always there”*

Tak ada yang bisa mempengaruhinya. Tak seorang pun yang mampu membuatnya meninggalkan sepi dan kesendirian. Tidak para pengamen yang datang silih berganti, tidak juga oleh pengemis-pengemis cilik yang menjulurkan tangan ke depan wajahnya yang bersemu warna kuning cahaya merkuri, bahkan mungkin tidak juga oleh setan-setan neraka yang menguasai mimpi manusia-manusia di sekitarnya.
Siapa yang peduli dengan mimpi-mimpi itu? Tak ada yang ingin duduk untuk sekedar mendengar cerita tentang mimpi, sebab setiap cerita tentang mimpi berujung pada pengetahuan bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Kembang bobo. Itu juga yang dikatakan ibuku dulu setiap kali aku ceritakan mimpi burukku. Tak ada mimpi yang dapat kau ingat setiap detailnya, karena itu tak ada mimpi yang benar-benar menjadi nyata.
Tapi menyaksikan dia duduk sendiri di sana seperti mengalami mimpi yang tiada habisnya. Slide demi slide mimpi terus saja berputar mempertunjukkan kejadian yang itu-itu saja.
Slide 1 : Dia masih duduk di sana, sendiri dan terlihat sangat kesepian.
Slide 2 : Dia masih duduk di sana, sendiri dan terlihat sangat kesepian.
Slide 3 : Dia masih duduk di sana, sendiri dan terlihat sangat kesepian.
Begitu saja seterusnya.
Dan aku masih berdiri di sini, menyaksikan rangkaian kejadian yang itu-itu saja hingga mampu mengurainya menjadi pertanyaan-pertanyaan: Siapa dia sesungguhnya? Mengapa dia terlihat begitu sepi? Apa yang dia cari dalam kesendiriannya di tengah keramaian ini? Ah… Perempuan itu telah berhasil menempatkan dirinya dalam lukisan malam sebagai obyek yang misterius. Tiba-tiba aku membayangkan berdiri di depan lukisan monalisa dan mencari-cari makna dari senyuman masterpiece itu. “Apa yang kau inginkan dengan melukis senyuman seperti itu, Tuan Da Vinci?” Aku tidak tahu, tapi aku tersenyum membayangkan seandainya Leonardo Da Vinci berdiri di tempatku menyaksikan perempuan itu, entah bagaimana dia menterjemahkannya.
“Mungkin kita sama penasarannya Tuan Da Vinci?!” Aku menggumam lirih.
“Ya. Aku juga penasaran seperti kamu.” Jawab Da Vinci ilusif.
Aku makin tersenyum. Aku harap Tuan Da Vinci ilusif tidak penasaran melihat senyumku.
Rasa penasaran itu menuntun langkahku menghampirinya dan mengambil tempat satu meter di samping kanannya. Dari sini dapat aku lihat dengan jelas wajahnya yang kekuningan oleh sinar merkuri. Matanya masih menerawang jauh ke depan, menembus malam, menyusupi angin, membawa pikirannya ke langit di ujung samudera dan sepertinya tidak peduli akan kehadiranku. Barangkali akan selamanya tidak peduli sampai aku berinisiatif menunjukkan kehadiranku.
“Malam menawarkan banyak hal yang berbeda pada kita, tapi kamu memilih keadaan yang jarang dipilih oleh orang lain. Apa kamu menikmati pilihanmu ini?” Aku memperhatikannya dan mengharap dia memberi tanda bahwa prolog ini bersambut. Tapi dia tidak bereaksi. Pandangannya masih tertuju pada obyek yang kemarin-kemarin, langit di ujung samudera itu, seolah ada suatu kesenangan di sana yang tidak pantas ditukar dengan menjawab pertanyaan retorikku. Sesungguhnya aku bukan lelaki yang mudah menyerah.
“Hai, namaku Aris. Apa aku boleh mengenalmu?” Aku memajukan tanganku ke arah tangannya, tapi dia tetap tidak bergeming. Aku biarkan tanganku menggantung beberapa detik di udara hingga aku putuskan untuk menariknya kembali, ada sedikit kekecewaan yang menyertai.
Ternyata hanya jasadnya yang ada di sini, sementara pikirannya melambung jauh entah kemana. Barangkali pikirannya itu ada di langit di ujung samudera tempat matahari senantisa terbenam dengan indah. Ada baiknya aku susul pikiran itu ke sana lalu menyeretnya kembali ke tubuh asalnya agar aku dapat mengobati rasa penasaranku. Tapi rupanya pikiran itu tidak ada di langit di ujung samudera, bahkan di segenap penjuru bima sakti pun tidak kujumpai pikiran itu. O, dimana gerangan pikiranmu itu berada, duhai Gadis? Rasanya ingin teriak memanggil, sayangnya aku tidak tahu siapa nama pikiranmu itu. Pencarianku sungguh sia-sia, aku kembali saja ke tubuhku.
“Apakah aku cantik?”
Aku dengar kamu bertanya lirih sesaat ketika pikiranku mulai menyatu dengan tubuhku. Ternyata pikiranmu telah kembali lebih dahulu, pantas saja tidak kutemukan dimana-mana. Dan sekarang kamu bertanya entah kepada siapa. Apakah kepada dirimu sendiri, atau kepadaku, atau kepada laut, atau kepada malam, atau kepada langit, atau kepada bintang, atau kepada kegelapan, atau kepada angin?
“Apakah aku cantik?”
Dia mengulang pertanyaan yang sama, aku anggap saja dia bertanya padaku dan bagiku itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Selama beberapa detik aku terdiam saja, sampai akhirnya kuputuskan menjawabnya.
“Aku bingung bagaimana harus menjawabnya, lagi pula aku tidak tahu jawaban seperti apa yang kamu harapkan. Sejujurnya aku tidak mau mengungkapkan kecantikan seseorang sebelum mengenalnya lebih dalam. Buat aku, fisik bukanlah ukuran kecantikan, tapi kecantikan sesungguhnya dari dalam sini.” Aku menutup jawaban dengan meletakkan tangan di dadaku. Angin datang mempermainkan rambutnya hingga menutupi sebagian pipinya, lalu dengan jari-jari tangan dia merapikan rambutnya itu dengan menyelipkan ke belakang telinga. Ada lesung tercipta di pipinya ketika dia tersenyum. Mungkin dalam hati dia berkata kalau jawabanku terlalu klise.
“Hampir semua lelaki yang datang padaku bilang kalau aku cantik, tapi tidak ada yang bertahan, mereka pergi setelah menikmati tubuhku. Sebagian ada yang kembali berkata aku cantik untuk menikmati tubuhku lagi dan setelah puas mereka pun menghilang. Tak seorang pun yang datang padaku menyatakan aku cantik dengan penuh rasa cinta, kedatangan mereka semata-mata untuk memuaskan nafsu binatang mereka. Bahkan suami ibuku pun bilang kalau aku cantik.”
“Maksud kamu, ayah kamu juga ikut menikmati tubuhmu?” Pertanyaanku membuat senyumnya berubah sinis dan matanya yang masih menerawang jauh ke langit di ujung samudera mulai basah. Lampu merkuri meredup.
“Apakah pria yang seperti itu pantas disebut ayah? Dia bukan manusia, hanya binatang yang memangsa anaknya sendiri!!” Ombak menampar bibir pantai. Malam semakin tua. Deru mesin motor meraung-raung menantang untuk berpacu. Dan perempuan ini dipenuhi amarah.
“Tapi darahnya terlanjur mengalir dalam tubuhmu!”
“Ayah itu bukan tentang kemampuan untuk membuat ibuku hamil yang lalu melahirkan aku, tapi tentang kemampuan untuk bertanggung jawab menafkahi, menghidupi, melindungi, dan menghargai isteri dan anaknya. Sementara dia… ibuku dipaksanya menjadi pelacur. Saat ibuku melayani lelaki lain, dia jadikan aku pengganti ibu di atas ranjang. Aku tidak berani melawan karena dia mengancam akan memenggal ibu di depanku sebelum memenggal aku. Aku hanya bias menangis dan memaki dalam hati.”
Sekarang air matanya terurai, sinar merkuri membuat butiran itu berkilau bagai berlian. Sekali lagi dia selipkan rambutnya ke belakang telinga. Ombak masih menampar bibir pantai dan menampar hatiku. “Betapa berat beban derita yang harus kamu tanggung, wahai Gadis!”
“Ketika ibu semakin tua dan hanya bias menghasilkan sepuluh ribu semalam, bajingan itu mulai menawarkan aku kepada teman-temannya, kepada om-om yang mau memodali hobby berjudi dan minum-minumnya. Sekali waktu aku bahkan dijadikan taruhan di meja judi, rasanya seperti makan buah simalakama; kalau bajingan itu kalah aku melayang, dia menang pun aku tetap melayang. Buat nambah modal katanya. Pernah aku coba kabur, tapi dia menemukanku. Sebagai hukuman atas usahaku itu, aku dan ibu diikat berdua dalam kamar mandi tanpa makan dan minum selama dua hari. Namun karena dia kehabisan duit, kami dilepasnya untuk melacur lagi.”
Malam bergetar oleh mesin motor yang berpacu. Musik dari tip compo para pedagang kaki lima tetap mengalun tindih menindih. Aku diam saja tanpa suara. Aku hanya bisa merasakan kepedihan yang kamu alami, melarutkan aku dalam suasana haru.
Perempuan itu menyeka air mata di pipinya lalu kembali menerawang jauh ke tempat matahari senantiasa terbenam dengan indah. Dia terdiam, aku terdiam. Aku kira saat ini dia tidak butuh teman berbicara, yang dia butuhkan hanya seorang yang bersedia mendengar kisah hidupnya, seorang tempat membagi beban kepedihan yang pasti sulit ditanggungnya sendiri. “Ceritakanlah padaku kepedihan dan kepedihanmu itu, duhai Gadis. Aku akan di sini menjadi pendengar yang baik sampai kamu merasa lega.”
“Kamu merokok?” Dia berpaling padaku dan bertanya. Untuk pertama kali dia mengalihkan pandangannya dari langit di ujung samudera sehingga membuatku bisa melihat wajahnya dengan sempurna. Wajahnya cukup menarik, sayang banyak kegetiran hidup bersembunyi di balik wajah itu.
“Aku tidak merokok, tapi kalau kamu mau, aku bersedia membelikan untukmu!”
Dia menggelang.
“Aku juga tidak merokok, dan aku benci orang yang merokok. Setiap kali bajingan itu merokok, puntungnya dimatikan di sini.” Dia menarik lengan jaket denimnya ke atas, memperlihatkan tangannya yang hampir penuh dengan bekas luka bakar sundutan rokok. Aku jadi ngeri membayangkan kekejaman pria yang disebutnya sebagai bajingan dan binatang itu.
“Ini perlakuan bajingan itu untuk menunjukkan kalau dia tidak segan-segan menyiksa aku jika aku melawan keinginannya. Untungnya kini aku bukan asbaknya lagi. Aku sudah bebas dari bajingan itu, dan dia tidak akan mengganggu hidupku lagi. Sekarang aku benar-benar merasa lepas.” Ada perubahan di wajahnya, seperti ada kelegaan yang terpancar meski sisa-sisa air mata belum mengering seluruhnya.
“Bagaimana kamu bisa lepas dari lelaki itu?”
“Aku positif HIV.”
Aku terkejut mendengar pernyataannya. Aku beringsut menjauh beberapa sentimeter. Dia tersenyum melihat aku mencoba menciptakan jarak baru dengannya. Aku jadi merasa telah melakukan hal yang negatif secara refleks.
“Maafkan aku! Tapi menurut aku, HIV bukan sesuatu yang pantas untuk membuatmu merasa lega?!”
“Ketika dokter memvonis aku terinfeksi virus HIV, aku merasa benar-benar hancur. Tapi ternyata penyakit inilah yang menolongku. Waktu bajingan itu tahu aku positif HIV, dia mengusirku dari rumah. Dia takut jika aku tinggal dengannya dia akan tertular. Dia benar-benar membuang aku dari kehidupannya. Baginya aku tidak berguna lagi, aku bukan lagi mesin uangnya, karena tidak ada orang yang mau membayar untuk ditulari penyakit ini. Aku pergi. Saat itulah untuk pertama kali aku merasa memiliki kehidupanku sendiri, bebas dari bayang-bayang bajingan itu. Penyakit ini mengangkat derajatku menjadi manusia seutuhnya. Aku bersyukur kepada Tuhan atas penyakit ini. Jika Tuhan menjadikan HIV ini sebagai jalan, Tuhan pun pasti tahu kearah mana jalanku menuju.”
Malam beranjak menuju pagi. Sinar bulan dipantulkan oleh air laut. Angin masih betah mempermainkan rambutnya. Para pedagang kaki lima mulai mengemas gerobaknya. Satu babak drama kehidupan telah aku dengar, tentang penderitaan purba perempuan dari masa lalu yang hanya mereka yang teruji yang mampu melalui penderitaan itu. Kamu mungkin salah satu diantara mereka. Untuk cerita hidupmu aku hanya bisa menjadi pendengar, karena aku sama sekali belum mengerti makna hidup, sedang kamu sendiri telah tahu kemana tujuan hidupmu. Aku harap suatu saat nanti kisahmu dapat aku ceritakan kepada dunia, meski kosa kataku tidak akan mampu menggambarkan penderitaan dan ketabahanmu.
Garis fajar telah hadir di langit, kami berdua menatapnya. Sudah saatnya aku meninggalkanmu untuk mencari tujuan hidupku sendiri.
“Aku harus pergi. Ini kartu namaku, di sini ada alamat dan nomor telepon yang bisa kamu hubungi. Aku harap kamu bersedia menjadikan aku sahabatmu.” Aku menyusupkan sehelai kartu nama ke sela jemarinya dan dia langsung memasukkan ke saku jaketnya.
Terima kasih untuk kesediaanmu menjadi sahabatku malam ini dan untuk tidak berkata kalau aku cantik.”
“Mudah-mudahan persahabatan kita bukan hanya untuk malam ini, besok kita mungkin bisa bertemu lagi.”
“Ya. Selalu ada harapan sebelum Tuhan memanggilku.”
“Semoga ketika Tuhan memanggilmu, Tuhan berkata bahwa kamu cantik. Dan kamu tahu Tuhan bukanlah lelaki.”
Dia tersenyum dan mengangguk perlahan.
Aku memutar tubuh dan berdiri, melangkah menyeberang jalan. Di seberang aku sadar kalau aku belum tahu namanya. Aku berpaling menatap ke arahnya. Perempuan itu telah berdiri dan siap pergi. “Biarlah aku tahan dulu keinginanku untuk tahu namamu.”
Adzan subuh bersahut-sahutan di langit Makassar saat perempuan itu melangkah pergi.

Makassar 13032003-25042006

YANG TERSEMBUNYI

Lidah-lidah waktu memanggil
Segeralah mencari seorang kekasih
Jangan sampai malam kembali menyembunyikan cahaya dalam tirai hitam dan pekat
Lalu menggulungmu dalam selimut syahwat menegang tertahan
Lidah-lidah usia mendesak bertanya
Berapa lama senyap berkuasa mengekang?
Ataukah selamanya hanya mesti
Sebagai pijar lilin dalam gudang es di musim bersalju
Suara-suara merdu dan wajah ayu
Senyum penuh harap
Masih harus menunggu
Sebagai siluet di jendela kaca yang berembun

Makassar 09022004

(3) KELAHIRAN KEMBALI

kususuri waktu dan terus menghitung hidup
ke suatu masa, awal sejarah menjadi
di sinilah aku memulai
lahir, hidup, menunggu, mati

Makassar 06022004

MAAFKAN AKU

Maafkan aku atas janji yang tak terucap
Karena aku yakin itu tak akan pernah tunai
Maafkan aku atas penyesalanku
Sebab aku tahu itu pasti terjadi
Maafkan aku atas kata cintaku
Sebab kemunafikan adalah sifatku
Maafkan aku atas pinta maafku
Karena aku sadar inilah yang paling tulus dariku


(Setelah mandi aku sadar, tadi aku begitu kotor)

MAKNAKAN CINTA PADAKU

kusambangi datukku Kajao
lalu bersila di hadapannya,
tanganku di kedua pahanya
kuungkap satu tanya padanya
Apa itu cinta, wahai Kajao?

Cinta adalah ketika Batara mengutus
To Manurung kepada manusia yang penuh dosa
bukan karena murka,
bukan untuk menghakimi
tapi penenteram jiwa yang galau
mengisi hati yang hampa
membawanya pada ketenangan
dan mengiringnya ke langit kearifan
hingga ke arsy keabadian
mendudukkannya di tahta kerajaan hatimu
menungguinya dengan kesabaran
menjaganya dengan ketulusan
mengusapnya dengan kasih sayang
melindunginya dengan keperkasaan
lalu membawanya pada puncak kebahagiaan
itulah cintamu

lalu kudatangi Sang Guru Gibran
kubersimpuh dihadapnya,
kuciumi tangan sucinya
kuminta satu petuah darinya
Apa makna cinta, wahai Sang Guru?

Cinta itu membuatmu laksana gandum
dia mengetammu hingga halus
lalu menjadikanmu umpama adonan
meletakkanmu di atas tungku yang membara
membakarmu dengan api asmara
dijadikanmu sepotong roti
menyajikanmu di atas altar suci
bersama secawan anggur kehangatan
hidangan bagi para dewa
itulah makna cinta

Dan kuziarahi makam Ayahku
kutaburi doa dan siraman Fatihah
bersamanya kubisik kegelisahan
Apa arti cinta, wahai Ayahandaku?

Cinta adalah dirimu sendiri anakku
ejawantah dari satunya aku dan ibumu

TENTANG HARAPAN

katakan
Akulah musim gugur, tempat dedaunan meninggalkan dahan-dahan kokoh dan jatuh
Saat angin mengembus membawa daun-daun itu
ke selatan
semakin jauh dari dirimu
yang masih kokoh berdiri, meski daun-daunku
tak lagi menyertaimu
kelak di musim yang lain
katakan
akulah pohon-pohon yang tegar menunggu
pucuk-pucuk daun baru
yang akan tumbuh di musim semi

Makassar 20052003

HALUSINASI

Ia lihat beratus-ratus ular memasuki kamarnya melalui pintu yang terbuka merayapi lantai. Di atas tempat tidur ia hanya mampu bergidik ngeri, sebab tubuhnya serasa didekap oleh suatu kekuatan yang amat besar. Ia ingin berteriak, tapi mulutnya seolah dibungkam oleh tangan-tangan raksasa yang muncul dari bawah. Sementara matanya dipaksa melotot menyaksikan adegan horor ketika ular-ular itu bergerak menyatu, saling bergelut, saling melilit, hingga membentuk sesosok ular yang sangat besar. Ia makin bergetar ketika dari tubuh ular itu melesak keluar sepasang tangan disertai kepulan asap putih tebal. Perlahan kepulan asap putih itu buyar dan menampakkan sesosok tubuh perempuan yang melangkah mendekatinya. Ia makin ketakutan. Mukanya basah oleh keringat. Dari jarak yang tidak mungkin perempuan itu menjulurkan tangan berusaha menyentuhnya.
“Fa. Bangun, honey…”
Spontan ia bangun terduduk, pandangannya tajam menyelidiki sosok perempuan di depannya, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Berulangkali ia mengucek mata, mengharap kesadarannya pulih.
“Hey, Boy. Wake up! Kamu ada kuliah hari ini…”
Masih setengah sadar ia meraih handuk dari sisi tempat tidur lalu menyeka wajahnya yang basah oleh keringat.
“Ada apa, Honey. Kamu mimpi ?”
Ia bergerak turun, melangkah menuju jendela dan membukanya lebar-lebar. Udara pagi membawa aroma bunga dari taman merangsek masuk ke hidungnya melengserkan sesak yang sempat menguasai. Setelah lega ia berbalik menatap Deasy – gadis cantik yang jadi pacarnya sejak empat tahun yang lalu – yang memperhatikan polah anehnya.
“Mimpiku sangat buruk. Lebih buruk dari putus cinta.”
Satu jitakan mesra ia terima di kepala, kemudian berubah menjadi belaian di rambutnya yang masih lusuh.
“Sudahlah. Sekarang kamu buruan mandi, berpakaian dan berangkat kuliah. Jangan sampai kamu terlambat lagi.”
Deasy mengalungkan handuk di lehernya lalu mendorongnya ke arah pintu. Ia menyambar kotak alat mandi dan melesat keluar.
Mengguyur tubuhnya di kamar mandi ia merasakan kelegaan. Lega telah kembali ke dunia yang sebenarnya. Bukan dalam mimpi yang sangat nyata ia rasakan. Ia sangat bersyukur Deasy hadir di saat yang tepat, ketika kondisinya terpojok dan kritis. Deasy memang selalu begitu. Deasy selalu saja muncul ketika ia sangat membutuhkannya. Baginya Deasy bukan saja sekedar seorang kekasih, tapi juga bidadari penyelamatnya. Deasy tipe gadis yang perhatian. Dia senantiasa menyempatkan diri mampir untuk sekedar mengingatkan waktu kuliah atau mengantar sarapan.
Sangat banyak hal yang bisa ia banggakan dari seorang Deasy, tapi bagian terbesar dari kebanggaan itu adalah kesetiaannya. Deasy punya banyak alasan untuk meninggalkannya, tapi entah kenapa dia tak pernah lakukan itu. Padahal sering sekali Deasy memergokinya bersama Dinna – dua bulan lalu sudah mati akibat overdosis – atau dengan Molly yang bukan gadis berakhlak. Mungkin hatinya telah sarat oleh kata maaf dan bijaksana hingga tak ada lagi ruang bagi rasa cemburu dan marah. Dari mulut Deasy ia banyak mendengar kalimat yang bijak tanpa tendensi atau saran tanpa ambisi. Semua mengalir begitu saja. Seperti ketika Deasy menganjurkannya berhenti berbisnis dan lebih menekuni kuliah, atau ketika Deasy minta dikenalkan pada Dinna dan Molly. Baginya permintaan itu adalah agar ia tak perlu berselingkuh, atau mungkin itu berarti perselingkuhannya tak perlu ia sembunyikan. Toh, Deasy sudah tahu. Tapi yang membuatnya kagum adalah kemampuan Deasy untuk memilih kata-kata yang tidak berbentuk perintah atau larangan, sehingga ia merasa tetap diberi kebebasan dan privasi, juga mendorongnya untuk lebih bertanggung jawab.
“Thank’s, Deasy. Mulai kini kau akan mendapatkan diriku bersama kedewasaanku untuk selalu memberikan cinta yang terbaik yang aku miliki. Aku berjanji membalas cinta yang selama ini tulus kau berikan…”
Ia meneguhkan janjinya pada siraman terakhir.
Ia meraih handuk lalu melingkarkannya di pinggang. Melangkah sangat ringan menuju kamarnya. Ia mendapati Deasy sedang menekuni komputer, menarikan jari jemarinya yang lentik di atas tombol-tombol keyboard. Barangkali ia ada tugas yang sangat mendesak.
“Kamu ikut pemilihan mahasiswi teladan di kampusmu?”
Ia bertanya sambil melongokkan kepala dari balik pintu lemari yang sengaja dibuka lebar-lebar untuk melindunginya yang sedang berpakaian.
“Tidak juga. Persyaratannya terlalu berat. Mesti smart dan nggak penyakitan. Sedang untuk tugas ini saja aku harus siap-siap menderita wasiran karena duduk terlalu lama.”
“Kamu butuh bantuanku?”
“Nggak usahlah. Kamu kuliah saja. Lagi pula kalo nggak mengetik rasanya jari-jariku jadi kram…”
“Maksudku, bantuan untuk beli obat wasir di apotik…”
Ia telah selesai berpakaian. Kini ia berdiri di belakang Deasy, memperhatikan ketikan kekasihnya yang tidak keki oleh candaannya.
“Jatah kafeinmu aku taruh di gelas sana. Habiskan sebelum ia menghabisimu…”
Deasy menghentikan sejenak aktivitasnya. Mungkin dia merasa terganggu.
“Tetaplah di sini, tunggu sampai aku pulang. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Ia lihat Deasy mengangguk.
Ia habiskan kopinya dengan dua kali teguk, lalu menyambar tas dan kunci motorsportnya yang tergeletak di sisi mini compo. Ia melesat, tapi tak secepat kilat.

Ia berlari-lari kecil menyusuri koridor kampus menuju ruang kuliah. Ia perkirakan, kalau dosennya tepat waktu, ia telah terlambat seperempat jam. Tapi ia tidak begitu khawatir, dosen mata kuliah ini terkenal cukup toleran. Di depan pintu ruang kuliah ia berhenti sejenak, mengatur nafas dan kepercayaandirinya. Ia menyentuh gagang pintu, menariknya dengan perlahan dan melangkah masuk. Langkahnya terhenti, mukanya berubah pucat. Ia terpaku.
Di dalam ruang kuliah ia saksikan ratusan ular bergulung di atas kursi-kursi dengan kepala tegak, mata mereka memandang dengan tajam serta lidah yang terjulur keluar masuk menimbulkan suara desis yang aneh. Di dekat white board, seekor ular yang lebih besar berdiri dan menatapnya dengan mata berkilat merah. Ia makin bergidik. Ia mencoba surut mundur ketika ia lihat ular besar itu bergerak ke arahnya, tapi kakinya serasa terpatri ke lantai. Ia mencoba menutup mata, tapi yang terjadi malah matanya makin melotot dan mulutnya menganga tanpa suara. Kini ular itu tepat berada di depan hidungnya. Kesadarannya nyaris hilang, hingga ia rasakan tepukan agak keras di pundaknya.
“Hei. Kamu tidak salah ruangan?”
Ia tersentak, lalu melompat mundur, matanya jelalatan memperhatikan seluruh isi ruangan. Ia saksikan teman-teman kuliahnya tersenyum dan tertawa melihat tingkahnya. Sementara di hadapannya Pak Doldy – dosennya yang pendek, botak dan bersuara keras – mengurut dada. Mungkin Pak Dolby terkejut ketika ia melompat mundur. Semoga ini bukan ilusi. Refleks ia menampar pipinya, ada rasa sakit. Cukup membuktikan ia kembali ke alam nyata.
“Kamu peserta kuliah saya, kan? Kalo bukan saya minta kamu tutup pintunya dari luar!”
Ia masih diam, berusaha membenahi pikirannya yang terserak cerai berai.
“Hei. Kamu peserta kuliah saya, kan?” Suara Pak Dolby makin ditekan keras. Mungkin itu sebabnya ia diberi nama Pak Dolby.
“I….iya Pak!” Tergagap ia menjawab.
“Duduklah!!”
Ia menutup pintu lalu berjalan menyisir kursi-kursi kuliah mencari tempat yang masih kosong. Dari sudut belakang ia lihat lambaian tangan Erdin – sahabatnya yang selalu menyediakan tempat duduk setiap kali ia terlambat – memanggilnya. Ia bergegas ke sana, menghempaskan pantatnya di sisi Erdin. Ia menarik sapu tangan dari saku belakang celananya, lalu menyeka wajah dan telapak tangannya yang basah oleh keringat dingin.
“Ada apa? Tadi mukamu pucat seperti melihat hantu!”Erdin bertanya seperti berbisik.
“Entahlah. Mungkin aku mengalami halusinasi pascamimpi buruk. Waktu aku masuk, dalam ruangan ini seperti penuh oleh ular-ular yang mengerikan. Kejadian yang hampir sama dengan mimpiku tadi pagi”
Ia mendesah, menghembuskan nafas dan mengeluarkan sisa-sisa ketakutannya.
“Pantas mukamu seperti sangat ketakutan. Untung kamu nggak sampai kencing di celana”
“Ya. Untungnya aku pakai pembalut”
Ia menimpalinya dengan bercanda, membuat Erdin tersedak menahan tawa. Tapi ia sendiri tak menikmati candaannya. Sepanjang kuliah ia tak mampu berkonsentrasi. Pikirannya terus melekat pada bayangan-bayangan tadi. Ia tak mampu mengusirnya meski ia sangat ingin, bahkan suara tenor Pak Dolby tidak cukup membantu. Ia ingat mimpi buruknya, ia ingat halusinasinya, ia ingat Deasy yang ia tinggalkan sendiri di kamar. Oh, andai Deasy ada di sini, aku tak akan segamang ini. Aku pasti akan tenang menghadapi semua ini.... Tapi ia tak mungkin bisa menghadirkan Deasy dengan utuh ke sisinya. Ia hanya bisa menghayalkan, Deasy datang membelai jiwanya, mengusir siluman-siluman ular yang mengintimidasi pikirannya. Andai aku tak perlu berangkat kuliah, mungkin banyak hal yang bisa aku lakukan bersama Deasy. Barangkali aku bisa membantunya menyelesaikan tugas atau sekedar menunjukkan perubahan diriku. Kini aku telah lebih dewasa. Kini aku ingin menunjukkan cintaku yang sesungguhnya. Tak perlu aku hadir di sini dan menjadi bahan tertawaan. Di sini aku terlihat bodoh dan goblok. Di sini aku tidak berdaya dan lemah menghadapi bayangan itu sendiri. Tanpa Deasy ketakutan itu sulit kuhilangkan. Oh. Andai Deasy ada di sini….
Tiba-tiba ia sangat ingin pulang.

Ia memacu motor sportnya keluar dari area parkir universitas. Tujuannya pasti, ia ingin segera sampai di rumah kostnya. Kembali ke Deasy kekasihnya. Menemukan kedamaian dalam pelukannya yang hangat, melegakan kegelisahannya dengan belaian yang halus, lalu berdansa hingga larut dan tertidur pulas di pangkuannya. Tak usah khawatir mimpi buruk itu datang lagi, karena ketika ia terjaga, ia akan menemukan wajah Deasy yang bening. Lalu Deasy akan mengisahkan cerita cinta, sampai ia terlelap lagi dan mimpi indah, berdua melayang di awang-awang dan menggapai nirwana.
Tapi sepertinya harapan tak semudah yang dibayangkan. Di depan ia lihat kendaraan lainnya melambat. Sementara di sisi jalan iring-iringan puluhan orang berjalan dengan membawa spanduk. Ada demonstrasi lagi. Ia melambatkan laju kendaraannya dan berusaha mencari celah yang muat dilalui. Ia cukup lincah mengendalikan setir motornya ke kanan dan ke kiri memasuki sela-sela mobil dan angkot yang merayap pelan. Untunglah kemacetan kali ini tidak terlalu panjang. Ketika ia mencoba menyalip mobil, tiba-tiba di depannya berdiri seorang perempuan yang nyelonong hendak menyeberang. “oh, my God!!!” Teriaknya dalam hati. Ia terkejut dan kehilangan konsentrasi. Pikirannya terbang. Ingatan buruk menguasai. Wajah perempuan itu sangat mirip dengan perempuan jelmaan ular dalam mimpinya. Seketika ia melepas kopling dan menarik gas sekuat tenaga. Crash…. Perempuan itu terpelanting beberapa meter, terguling dan terjerembab dengan darah yang mengalir deras dari kepala. Ia berusaha menguasai motornya dengan menginjak dan menekan rem dalam-dalam. Ia berhasil, motornya berhenti dalam keadaan tegak.
Ia berpaling menyaksikan sosok perempuan yang tergeletak bersimbah darah, entah masih bernyawa atau tidak. Ia bergidik. Ia lihat perlahan-lahan tubuh perempuan itu menyusut, kaki dan tangannya menyatu, lalu menjelma sesosok ular yang cukup besar. Ia makin bergidik ketakutan. Ia edarkan pandangan ke sekelilingnya. Para pejalan kaki, para demonstran dan pengguna jalan lainnya tertegun menyaksikan insiden itu. Ia menahan nafas, ketakutan menguasainya. Ia lihat orang-orang dengan wajah terkejut dan marah itu berubah wujud menjadi sekelompok ular yang sangat mengerikan dan murka.
“Orang itu menabraknya!!”
“Dia membunuhnya!!”
Ia kaget. Ular-ular itu fasih berbahasa manusia. Adakah semua ini nyata?! Ataukah ia berhalusinasi? Ia tak mampu menguasai kegugupannya. Tangannya bergetar. Mesin motornya meraung-raung. Nyalinya ciut ketika ular-ular itu bergerak coba mengurungnya.
“Hei. Dia mau kabur!!”
“Tangkaaap…!!”
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan segera ia geber gas, menginjak persneling dan melepas kopling. Motornya meloncat. Beberapa ekor ular yang coba menghadang pergerakannya ditabrak dan dilindasnya. Yang lain berusaha menutup ruang geraknya, tapi ia lebih lincah meliuk-liuk, mengelak dan menghindar. Entah berapa ekor ular lagi dilindasnya. Ia memacu kecepatan motornya, melesat kencang. Ia harus kabur, kabur, kabur.
“Jangan biarkan dia lolos!”
Tapi ia berhasil lolos. Ular-ular yang mengejarnya sudah jauh tertinggal. Ia tak mengurangi kecepatan motornya, bahkan makin dipacunya hingga batas kecepatan tertinggi yang pernah digunakannya. Ketakutan membuat ia seperti itu. Kesetanan. Ia terus dicekam ketakutan.
“Apa yang terjadi pada diriku??”
Sepanjang jalan yang dilaluinya, ia tak melihat satupun manusia. Yang ada hanya ular-ular yang mengerikan. Ia lihat ular-ular melongokkan kepala dari jendela bis dan angkot. Ia lihat ular-ular yang berjubel di tepi jalan, di pusat-pusat perbelanjaan, di kantor-kantor, di rumah-rumah. Ia lihat ular-ular yang menghentikan kendaraannya karena lampu merah. Tapi ia tak mungkin ikut berhenti di situ, di sisi ular-ular yang menakutkan yang mungkin melilit dan memangsa dirinya dengan bisanya yang mematikan. Ia terus memacu motornya menerobos lampu merah. Ia nyaris menabrak lagi seekor ular yang menyeberang jalan. Ia menghindar, ular itu berteriak memaki. Ia tak peduli dan makin menekan gas. Ia dengar bunyi peluit disusul raung sirene. Kini ular-ular itu mengejarnya. Ketakutannya kian menjadi-jadi. Sekelebat bayangan maut melintas siap menelannya. Ia belum mau mati. Ia hanya ingin pulang menemui kekasihnya, menumpahkan segala ketakutannya akan hari yang buruk. Ia hanya ingin segera berada dalam dekapan Deasy yang melindungi. Ia kebut motornya masuk lorong-lorong sempit, jalan-jalan tikus, lalu keluar lagi ke jalan raya, berusaha menyesatkan para pengejarnya. Hingga ia tak dengar lagi raung sirene. Rumah kostnya tak jauh lagi, kira-kira dua belokan. Mendadak, di belokan pertama sebuah taksi nyelonong dengan kecepatan tinggi. Geragapan ia tepikan motornya, tapi supir taksi yang panik itupun mengikuti arahnya. Ia tak mungkin bisa menghindari tabrakan. Ia melompat ke semak-semak di tepi jalan, sedang motornya terus meluncur ke arah taksi. Percikan api dari gesekan besi dengan aspal dan tumpahan bensin memicu sebuah ledakan besar ketika dua kendaraan berbenturan dengan keras. Ia rasakan tanah bergetar hebat. Api berkobar menimbulkan asap hitam yang menjulang ke angkasa. Ia tersungkur, sekujur tubuhnya terasa remuk. Darah mengalir dari kulitnya yang lecet. Ia coba berdiri. Dari tempat itu ia saksikan tiga sosok ular yang terbakar merayap keluar dari rongsokan taksi. Mereka menjerit, berguling, berteriak, mengaduh. Ia tidak peduli. Terhuyung ia berlari pergi. Pergi. Mencari jawab dari pertanyaan: “Apa yang terjadi pada diriku?”

Ia sempoyongan memasuki kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia berpaling ke arah jendela lalu melompat untuk menutupnya. Ia masih sangat dicekam ketakutan. Tubuhnya basah oleh peluh, darah mengalir dari kening dan bibirnya. Berdebu dan kotor. Deasy yang sedang asyik di depan komputer terperanjat kaget.
“Tolong aku, Deasy. Mereka ingin membunuhku. Lindungi aku, Des!!”
“Siapa mereka, sayang ?”
“Bayangan. Ular-ular siluman dalam mimpiku datang lagi, mereka memburuku. Mereka ingin membunuhku. Mereka ada di mana-mana. Aku takut mereka menemukanku…” Ia tak kuat lagi, tubuhnya terjerembab jatuh ke lantai. Deasy melompat untuk menahannya, membimbingnya duduk, lalu merengkuh tubuhnya dalam dekapan yang hangat. Ia sandarkan kepala ke bahu Deasy. Ia menangis.
“Tenanglah, sayang. Tak akan ada lagi yang mengusikmu. Takkan kubiarkan mimpi-mimpi itu menguasaimu. Takkan kubiarkan mereka menyentuh kekasihku…” Deasy menenangkan kekasihnya dengan mendekapnya lebih erat, membelai, mengusap peluh dan darah dengan kelembutannya.
“Oh. Apa yang terjadi pada diriku ?”
Ia sesenggukan, luapan emosinya tak segarang tadi.
“Sudahlah, sayang. Kamu hanya berhalusinasi. Kamu hanya terlalu terbebani oleh mimpi buruk, oleh kondisimu yang sedang labil. Mungkin kamu butuh istirahat, melepaskan diri dari rutinitasmu. Kamu butuh sedikit penyegaran”
“Entahlah, tapi aku lihat mereka seperti nyata!”
“Inilah kebenaran, sayang. Kamu di dunia nyata sekarang”
Lalu Deasy menarik kepalanya dan mendaratkan kecupan di keningnya yang masih dilelehi darah. Perlahan kecupan itu turun ke bawah. Bibir mereka bersentuhan, saling melumat, saling menggigit, saling menjilat, saling memainkan lidah. Sesaat mereka terhanyut. Ia menemukan perasaan baru. Perasaan yang mampu menyingkirkan ketakutan dan kegelisahan dari jiwanya. Kini ia tenang dan bergelora, seperti debur ombak yang perlahan menyentuh pantai. Deasy memang hebat. Mampu meredakan ketakutannya. Mampu menariknya dari lubang hitam yang nyaris merenggut harapannya. Mampu memberikan perlindungan dari siluman-siluman sangar bersisik berbau amis. Deasylah jawaban dari semua kejadian buruk yang menimpanya hari ini. Ia beruntung memiliki Deasy, termasuk bibirnya yang bagai permen bolong. Bibir yang merubah gelora ketakutan menjadi gairah asmara. Sekarang ia sangat yakin, cintanya hanya untuk Deasy seorang. Ia ingin berterima kasih, tapi ia rasakan sesuatu yang aneh mendesak masuk melalui sela-sela bibirnya dan menyentuh langit-langit tenggorokannya. Sontak ia mendorong, memaksa Deasy terjengkang ke lantai. Separuh nyawanya serasa dicabut paksa melalui setiap lubang pori-pori kulitnya saat menyaksikan lidah hitam bercabang terjulur dari bibir Deasy yang menyeringai memperlihatkan dua pasang taring yang runcing berlendir. Sisik-sisik hijau bermunculan dari kulit. Tubuh Deasy menggeliat-geliat, menari laksana mengikuti irama seruling. Asap putih mengepul.
“Tidaaaak…!!”
Ia berteriak ketakutan. Ia lihat sekujur tubuh Deasy telah berubah menjadi seekor ular besar berwarna hijau menyilaukan. Ia terjejer ke belakang, tapi tubuhnya tertahan oleh tempat tidur. Seluruh tubuhnya telah mandi keringat dingin. Ia teriak makin keras.
“Kau… kau juga bayangan itu. Kau juga mimpi burukku…”
Ia bergidik ngeri. Jalan mundur satu-satunya adalah naik ke tempat tidur. Ia sukses melakukannya, tapi ular hijau itu bergerak makin mendekat.
“Bangunkan aku, Deasy. Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Katakan ini tidak benar. Katakan ini tidak nyata. Katakan ini hanya mimpi…”
Raungannya sangat pilu. Ketakutannya telah terakumulasi menjadi keputusasaan.
“Maafkan aku, Alfa. Memang sudah seharusnya kamu tahu kebenaran ini. Saatnya telah tiba. Apa yang kau lihat ini benar dan nyata. Kau tidak sedang mimpi atau berhalusinasi. Inilah dunia yang nyata, dunia kita, dunia para siluman ular. Kita adalah manusia-manusia yang dikutuk. Manusia-manusia yang jika memasuki masa dewasa akan mengalami perubahan menjadi ular. Umumnya para lelaki dari kaum kita akan berubah ketika berumur tujuh belas tahun, sedang yang perempuan lebih cepat dua tahun. Entah mengapa kau mengalami kelainan. Kedewasaanmu datang terlambat. Karenanya empat tahun yang lalu Raja Siluman Ular mengutusku untuk mendampingimu menjalani proses pendewasaanmu. Konon katanya kedewasaan akan cepat datang jika kau mengerti makna cinta yang sesungguhnya. Hari ini kau telah mengerti, kau telah dewasa. Lihatlah dirimu…” Ular hijau itu seperti menghipnotisnya dan menghadirkan sebingkai cermin besar di hadapannya. Di sana ia lihat kepalanya yang mulai mengecil, matanya memerah, mulutnya makin melebar menyembulkan taring yang tajam, rambutnya seperti ditarik masuk ke dalam batok kepalanya dan berganti dengan tumbuhnya sisik berwarna coklat belang di seluruh permukaan kulit. Lidahnya yang bercabang terjulur mendesis… Ini pemandangan yang sangat gila. Ia tak tahan lagi dan melolong setinggi langit. Ia himpun seluruh kekuatan yang tersisa dalam kepalannya dan menghantam cermin hingga pecah berkeping-keping, serpihan-serpihannya jatuh bergemerincing di lantai, lalu menjelma ribuan ular kecil mendesis berlarian masuk ke tubuh ular hijau.
“Tidaaak!! Ini tidak nyata. Ini hanya mimpi…” Suaranya parau meragu, antara maya dan realita.
“Terimalah, Alfa. Ini kenyataan hidup yang haru kamu jalani. Tapi tidak berarti semua yang pahit tidak memiliki harga…”
“Pergi…!!”
Erangan ketidakberdayaan mengalir pasrah. Ia kalah.
“Memang aku harus pergi. Tugasku telah selesai. Kini kau berjuanglah sendiri. Awali kedewasaanmu dengan mengenal dan mencintai hakikat dirimu apa adanya…”
Tak ia lihat lagi kemana ular itu pergi dan lenyap.

Ia terdampar di sudut kamar beku memeluk kedua lututnya. Tak berani ia tutup mata, terus awas dan waspada. Telinganya masih terus mendengar suara desis ular yang ramai, seolah mereka mengepung kamarnya dan terus menanti saat ia lengah untuk menyerang. Tak pernah ia merasa aman, meski ia telah menumpuk meja, kursi, komputer dan tempat tidur di belakang pintu, lemari tak bercermin telah bersandar menutupi jendela dan ventilasi telah penuh dengan papan tempat tidur yang dipaku serampangan. Tak ada cahaya yang membuatnya bisa membedakan siang dan malam. Ia tak mampu mengusir ketakutan yang terus mencekamnya. Ketika ia menyalakan radio, yang terdengar hanya desis ular mendesak masuk hendak menggerogoti gendang-gendang telinganya. Ketika ia menyalakan televisi, terlihat hanya ular-ular betina yang menari bugil sambil berpelukan dengan ular yang berkepala plontos dan berperut buncit kekenyangan. Ia banting elektronik itu hingga pecah berantakan memenuhi lantai. Setiap detik ia tersentak, detak jam seperti suara langkah malaikat maut yang siap mencincangnya.
Penyesalan menghampiri dirinya. Mengapa ketika ia mengikrarkan perubahan malah jadi bumerang. Ia tidak siap menghadapi semua ini. Kedewasaan ternyata menakutkan dan radikal, misterius dan laten.
“Sudahlah, bangunkan aku. Hentikan semua mimpi buruk ini. Ini sudah terlalu panjang”
Ia terus meracau pilu, memanggil Deasy – yang sebenarnya – atau siapapun datang membangunkannya, mengatakan bahwa semua yang ia alami hanyalah bunga tidur, dan ia terbangun mendapati dunia yang nyata tanpa siluman-siluman menghantui hidupnya, lalu ia dapat menjalani kehidupan yang bahagia dan indah bersama Deasy hingga akhir hayat. Tapi….
Betulkah ini hanya mimpi buruk dan halusinasinya?
Ia seperti menjelajahi sebuah labirin yang berliku, gelap dan sangat panjang. Ketakutan menuntunnya hingga tiba di sebuah ruangan yang hanya memiliki satu pintu yang tertutup rapat. Sebuah pintu yang mungkin jalan keluar dari labirin. Tapi ia tak berani membukanya, sebab pintu itu terus bergetar oleh gedoran yang sangat keras. Telinganya menangkap suara-suara teriakan yang memanggil namanya dari balik pintu. Mungkin ular-ular di luar sana sudah tidak sabar hendak menerobos masuk. Ia merepet ke tembok. Ketakutannya makin menjadi-jadi.
“Alfa, kami Polisi. Buka pintunya, kalau tidak, kami dobrak!!”
Jangan tertipu Alfa, mereka bukan polisi. Mereka pasti ular-ular itu. Batinnya memperingatkan agar ia tetap waspada. Pintu itu makin bergetar, bahkan meja, kursi, komputer dan tempat tidur yang mengganjalnya pun bergerak sedikit demi sedikit ke belakang.
“Dobrak pintunya!!”
“Satu….”
“Dua…”
“Tigaaaa….”
Ia dengar dentuman keras menghantam pintu membuat komputernya terpelanting jatuh. Pintu terbuka sedikit. Dari celah pintu yang sangat sempit itu ia lihat bayangan-bayangan hitam menyeringai. Mereka sangat brutal. Ia panik. Sedikit lagi pintu akan terbuka dan mereka masuk menangkapnya. Mungkin mereka akan langsung menyantapnya ramai-ramai. Atau mungkin mereka akan merantainya dan diseret ke hadapan raja siluman ular, lalu kepalanya menjadi penghias meja perjamuan dengan raja siluman dari negeri lain. Atau mungkin ia akan dikerangkeng dan dipertontonkan dalam sirkus.
“Aku tidak mau. Aku harus lari…”
Sangat panik ia dorong lemari -yang menutupi jendela- ke arah pintu untuk memperkuat barikade penghalang. Ia tidak peduli seluruh badannya bergetar lemah. Batinnya memerintahkan untuk segera pergi. Mereka tidak boleh menemukannya di sini. Ia buka jendela. Selarik sinar matahari menyilaukan menghantam wajahnya yang kuyu karena tak pernah tidur. Ia melompat ke halaman.
“Itu dia!”
“Jangan lari. Kami Polisi!”
Di pintu pagar ia lihat dua orang polisi bersenjata bergerak ke arahnya.
“Jangan percaya. Mereka ular-ular yang menyamar jadi polisi”
Batinnya menjerit. Mereka tidak boleh menangkapnya. Ia mengambil ancang-ancang. Gelora ketakutan memberi tambahan kekuatan, jantungnya berdetak keras memompa adrenalin ke seluruh tubuh. Ia lari, melompat pagar, lari lagi. Lari. Lari. Kedua polisi jadi-jadian itu terus mengejarnya. Suara-suara yang memaksanya berhenti tak ia hiraukan. Ia hanya ingin pergi mencari kebebasan dari mimpi buruk yang menjajahnya, mencari jawaban hakiki dari kedewasaan. Ia tak boleh berhenti, barangkali di ujung jalan ini seseorang dapat menjelaskan jawabannya. Ia lihat secercah cahaya berpendar di sana. Sebuah harapan. Ia berusaha menggapainya, tapi sebuah letusan dan rasa perih di betis membuatnya terhenti.
“Jangan menyerah. Cahaya itu sudah dekat…”
Terpincang-pincang ia melangkah, sebuah letusan lagi terdengar. Sebutir peluru yang bersarang di punggung merenggut sisa-sisa kekuatannya. Ia tersungkur menghantam aspal.
Ia rasakan tangannya diringkus dengan borgol, lalu sebuah kaki memaksa tubuhnya terlentang. Dengan mata yang mulai lamur ia lihat dua orang polisi menatapnya dengan wajah yang puas. Tak lama ia lihat lagi empat orang polisi muncul menghampiri rekannya sambil tersenyum.
“Sepertinya tangkapan kita kali ini cukup besar!”
“Lihat yang kami temukan di kamarnya. Lima ons shabu-shabu dan tiga paket besar ganja!”
Mereka menatapnya dengan sangat kejam, lalu tertawa girang.
“Oh. Apa pula yang mereka bicarakan. Aku bukan orang yang seperti itu. Aku hanya orang biasa yang ingin bebas dari mimpi buruk. Sudahlah, bangunkan aku. Aku sudah lelah mengikuti permainan ini. Mimpi buruk ini sudah terlalu panjang…” Tapi….
Benarkah semua ini hanya mimpi buruk?
Ia tak kuasa lagi. Yang tersisa di tubuhnya tinggal rasa sakit. Kepalanya berpaling lirih. Di ujung jalan secercah cahaya itu masih nampak, berpendar, buyar, lalu sirna. Di sana ia lihat Deasy berdiri anggun dengan tersenyum.

Makassar 20 Maret 2003.

CINTA BUTA >< NALAR MERDEKA

Tidurlah matahari
Hidup beranjak masuk
Menuju lingkaran malam
Bersama kepedihan itu

Gelap masih sembunyikan pintu
Kau coba cari tahu
Di gua mana maharesi bertapa
Semenjak kau butuh petuahnya

O cinta yang buta…
Berhentilah mendera
O nalar yang merdeka…
Bebaslah mengembara

Jakarta 10102005

DALAM PENCARIAN

Kumenari di latar fajar, di hampar sajadah
Subuhku, alirkan dzikir ke hati
Sekali lagi, Subhanallah larut dalam rotasi makna
Aku semakin debu dalam dimensi-Mu
Hilang di galaksi-Mu

Makassar 24102004