Sabtu, 13 September 2008

BADIK DAN BAWAKARAENG

Di masa itu…
Ketika tiada yang mengerti lelahmu
Dan beban tak dapat kau lepas dari pundakmu
Angkara murka bagimu mustika berharga
Kau tak hidup di hari kemarin dan esok

“Bangunlah anakku, tidakkah kau rindu Bawakaraeng?”
Berdiri jumawa di puncaknya
Dengan badik yang kau peroleh dari halilintar
Menantang mendung maha mendung

Di sana…
Di bumi yang dipenuhi bara dendam
Pun cakrawala tertutup teriakan pembantaian
Gunungan dosa yang dititip pada Bawakaraeng
Tak mampu dipikulnya sendiri

“Bangunlah anakku, Bawakaraeng memanggilmu”
Hanya engkau yang mampu redakan murkanya
Dengan badik dari halilintar puncak Latimojong
Takdirmu menggurat tanah Celebes

Dari titik ini…
Dari kakinya hingga jalur Lompobattang
Hantu dan jin yang pernah bercengkerama
juga tak bisa mengerti
Amarah apa yang bisa membunuh cinta

“Bangunlah anakku, Bawakaraeng telah menunggu”
Kau anak yang lahir ketika hujan bintang jatuh ke bumi
Berjuta mahluk bersesaji harapan
Selipkan badik di pinggangmu

Entah di mana…
Dari kakinya hingga jalur Lompobattang
Warangka yang sejak lama kau cari
Hanya sejengkal dari tanah
Yang entah di mana

“Bangunlah anakku, pinus Bawakaraeng merindumu”
Kau anak yang dianugerahi naluri
Temukan warangka dari salju abadi
Redakan api dari badik halilintarmu

Awal perjalanan…
Kau dengar angin membisikimu arah
Dan dingin membalutkan semangat
Kehidupan baru yang kau impikan dalam buaimu
Tak jauh lagi

“Bangunlah anakku, kabut takkan tutupi pandangmu”
Kaulah yang memiliki garis tangan
Menyatukan badik dan warangka yang terpisah
Ribuan tahun sejarah

Di ketinggian…
puncak yang tertutupi awan
Sebuah monumen abadi kau bangun dari cinta
Cerita tentang amarah yang telah reda
untuk selamanya

Anakku, jika suatu masa kau rindu Bawakaraeng
Saat itu Bawakaraeng pun merindukanmu
Karena setiap setahun perpisahan
Ketinggian Bawakaraeng terus bertambah
Oleh cinta dan ketakutan

Tidak ada komentar: