Senin, 04 Februari 2008

PLEIDOI SANG DEMONSTRAN

Malam sebelum aksi dimulai. Kuawali dengan sebuah pergerakan sendiri, langkah yang harmoni. Melewati setiap gang sempit yang berpagar dinding rumah, jalan-jalan yang tak biasa dilalui petinggi negeri ini, jalan-jalan yang katanya milik pemerintah, tapi pemerintah sendiri tak pernah melaluinya. Ironis sekali. Tapi aku menikmatinya. Menghirup nafas orang-orang yang tertidur di balik dinding itu, merasai, mencerna nafas penderitaan, keletihan, kelaparan dan keputusasaan.
“Tariklah nafas sedalam-dalamnya, saudaraku. Karena di tanah air yang kita miliki sekarang ini, hanya udara yang tak perlu dibeli”

Lalu bayangan-bayangan membumbung dari atap-atap, berputar di atasku, menari dan tertawa. Diantara bayangan itu, sekelompok begitu asyik merangkai cahaya, membentuknya serupa istana, dan tamannya menjadi tempat bagi bayangan yang berkasih mesra. Bukankah bayangan-bayangan itu adalah roh-roh yang lepas dari jasad para pemimpi? Bukankah hanya di dunia mimpi mereka dapat menikmati keindahan?
“Bermimpi indahlah saudaraku, semestinya mimpi indahmu tak hanya dimulai di pembaringan”
“Bermimpi indahlah saudaraku, sebab esok kerasnya kehidupan juga dimulai dari pembaringan”

Aku harus kembali. Harusnya malam ini ada konsolidasi persiapan aksi, menyusun skenario dan perangkat-perangkat aksi, dan kawan-kawan seperjuanganku pasti mengharapkan kehadiranku. Tapi aku masih ingin di sini. Sendiri. Aku ingin berkonsentrasi, menghimpun pendaran asa dari roh-roh yang melayang, merangkumnya dalam semangat, yang entah patriotisme, entah chauvinisme. Bukankah untuk berekspresi aku perlu mendalami peranku? Bukankah perjuangan dimulai dari diri sendiri?

Di ujung gang, sebuah rumah, terlihat beranda yang diterangi bohlam 10 watt dan kepulan asap dari rokok sekelompok orang yang membentuk forum. Sebuah perhelatan kopi dan pisang goreng yang nyaris berakhir, perhelatan khas rakyat, kekeluargaan dan gotong royong.
“Kalau besok mahasiswa turun ke jalan, hamparkan karpet merah di jalan yang mereka lalui”
Kalimat dari pemimpin forum itu meresapkan makna ke dalam jiwaku. Mengajak sebuah perenungan. Menjadi penyimpul dari semangat yang dititip roh-roh yang melayang, mengokohkan sebuah tekad dan melepas kejumudan.

Roh-roh di angkasa
Dan pendaran selaksa asa
Berpusar menjelma awan hitam
“Kuremukkan kau tirani kejam”
Arwah-arwah datang mengamini
Melayang membabi buta
Gemuruh jutaan mantra
“Enyah kau penjajah jahanam”

Inilah kodrat kita, kawan-kawan
Tuk selalu berdiri di depan
Garda antipenindasan
Takdir membawa kita ke sini
Menjaga gapura bangsa dari rezim yang mengkhianati kepercayaan rakyat
Rezim yang mengokohkan status quo
Bahwa penindasan adalah sesuatu yang samar dan halal

Kawan-kawan,
Saatnya mengawal komitmen ini
Membela rakyat yang tertindas
Menjatuhkan rezim yang berkuasa dan membentuk pemerintahan rakyat
Sebab rakyat telah mengilhami gerakan ini
Sepanjang jalan yang akan kita lalui
Hamparan karpet merah, akan melindungi langkah moral dari debu-debu pengkhianatan

Tetaplah di barisan ini, kawan-kawan
Karena di barisan ini, kita lebih mencintai mars daripada hymne
Di barisan ini, suara hati nurani lebih lantang daripada gemuruh halilintar
Dan lebih tajam dari miliaran sembilu

Majulah, kawan
Sebab tak berguna menikam tubuh yang nuraninya telah dilukai
Tak berguna membunuh jasad yang rohnya telah melihat lambaian tangan arwah para pahlawan
Tiada artinya penjara bagi jiwa-jiwa yang telah merdeka
Dan bedil-bedil tak dapat menggores perisai keyakinan
Revolusi atau Mati
Sekali berarti, sudah itu mati
Merdeka

Siang itu langkah para demonstran terdengar begitu berderap, tegap dan dada membusung bangga. Inilah demonstrasi pertamaku yang sangat penuh semangat dan ramai. Sebuah people power. Ratusan bahkan mungkin ribuan massa mahasiswa tumpah di jalan, dengan jaket almamater dan spanduk-spanduk yang beraneka warna dan logo. Hanya ikat kepala mereka yang seragam. Merah.
Seorang tampil ke depan menjadi dirigen, memimpin para demonstran menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Langkah mereka pun semakin berderap dan seirama dengan lagu. Genderang yang ditabuh serta yel-yel berpadu seperti sebuah konser orkestra. Ya, sebuah orkestra jalanan yang sempurna.
Di tepi jalan, kerumunan orang-orang tampak menikmati aksi jalanan kami. Mereka melambai, mengacungkan jempol, mengepalkan tangan, bersorak dan mengelu-elukan. Demonstran semakin bersemangat hingga lagu yang mereka nyanyikan mulai tidak beraturan dan berulang-ulang. Tangan sang dirigen pun tidak kompak sudah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Setidaknya sedikit suntikan spirit ke dada mereka. Buktinya, hingga belasan kilometer berjalan, stamina mereka seolah tidak berkurang.
Sejenak perasaan bangga merambati dadaku. Aku ada di sini dan berperan besar dalam sebuah gerakan yang mungkin menentukan nasib bangsa. Sebuah revolusi. Setelah ini barangkali namaku akan tercatat dalam sejarah pergerakan, sebagai tokoh perubahan. Ah, tidak, tidak!! Bukankah itu berarti aku mengharapkan pamrih? Juga pengkhianatan atas amanah yang dititipkan rakyat dan roh-roh yang menginspirasiku semalam?
“Sudahlah, bukankah engkau belum tahu ending dari cerita ini?”
“Hei, lihatlah!!”
Seorang demonstran menegurku dan mengacungkan telunjuknya ke depan. Menyingkap tabir lamunan yang menutupi mataku. Aku terkesiap. Di depan, aparat keamanan telah memblokir jalan. Barisan depan nampak barikade aparat yang membawa perisai dan pentungan. Dimana-mana terlihat polisi yang mondar mandir dengan senapan, kawat berduri, beberapa mobil lapis baja dan water canon. Sesaat lagi kami sudah berhadapan dengan barikade pertama. Aku mulai mengamati situasi dan kondisi. Di sisi kanan kiri jalan kerumunan orang-orang nampak tegang. Mereka tak bersorak sorai. Diam dan kaku. Barangkali mereka membayangkan bentrokan yang mungkin terjadi antara demonstran dan aparat keamanan. Tapi benakku menangkap sesuatu yang aneh dari kerumunan orang-orang itu. Sesuatu yang misterius. Tiba-tiba terngiang kata-kata “Hamparkan karpet merah di jalan yang mereka lalui…”
“Bagaimana selanjutnya?!”
Satu suara yang bergetar dengan nada cemas bertanya. Pikiranku masih terfokus pada kerumunan orang-orang tadi. Berusaha memecahkan misterinya.
“target kita menduduki istana!”
Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Aku tahu betul target aksi ini bukan menduduki istana. Dan aku tahu betul dalam suara itu ada tekanan provokatif.
Sementara itu, jarak para demonstran dengan aparat semakin dekat. Mulai terjadi dorong mendorong. Demonstran berusaha membuyarkan barikade aparat. Sementara aparat merangsek maju mendesak. Aku berusaha menepi dan terus mengamati orang-orang itu.
“Serbu istana…!!!”
Teriakan menggelegar dari arah tengah massa bersama layangan batu ke arah aparat, menyulut konfrontasi. Massa demonstran terdepan mulai panik. Mereka terdesak oleh massa demonstran di belakang yang mendorong maju. Aparat terus merangsek maju dengan perisainya. Pentungan sudah digunakan. Lemparan batu makin deras menghujani aparat. Mereka membalas dengan pentungan dan tembakan ke udara. Gas airmata pun melayang kearah massa demonstran. Mereka makin panik, perempuan dalam barisan demonstran menjerit histeris. Suasana makin kacau, menegangkan. Massa demonstran berupaya bertahan. Segera kututup hidungku dengan sapu tangan, mencegah efek buruk gas airmata. Aku berusaha bergerak ke pinggir, menjauhi massa yang mulai brutal. Berusaha mendekati seorang aparat yang dari pakaiannya kuduga dialah komandan pasukan. Aku terus bergerak, meronta, menyibak tubuh demonstran yang menghalangi. Aku semakin dekat. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Dia melepaskan topi dan berpaling kearah kerumunan orang-orang di tepi jalan.
Rasanya aku pernah melihat orang itu sebelumnya. Aku mengikuti arah pandangannya. Aku ingat. “Orang itu…”
Mendadak, sekelebat kilauan golok dari kerumunan orang-orang di pinggir jalan menyilaukan mataku. Tidak hanya satu, semua tiba-tiba menghunus senjatanya, golok, pedang, samurai, sangkur komando, kapak, badik, keris, balok kayu dan masih banyak lagi.
“ Masya Allah, dalam kerumunan orang-orang itu sama sekali tak ada perempuan…”
Seperti telah dikomando serentak orang-orang itu menyerbu barisan massa demonstran yang memang sudah kalang kabut. Mereka kocar kacir, seolah angin tornado menghantam mereka dari segala penjuru. Massa demonstran terkepung. Dari arah depan aparat keamanan membombardir dengan pentungan dan tembakan yang membabi buta. Sementara sisi kiri, kanan dan belakang, massa sipil begitu beringas mengayunkan senjatanya. Ini sebuah jebakan, dan massa demonstran telah terjebak dalam ladang pembantaian. Pemandangan yang mahamengerikan. Demonstran berlarian panik, suara senjata yang beradu dengan tubuh, asap-asap hitam membumbung ke langit, api yang berkobar-kobar, jeritan demonstran yang melengking, dentum bedil dan senapan otomatis, tubuh-tubuh yang terburai, darah memuncrat disana-sini, teriakan-teriakan pembantaian, raungan sirene, bau mesiu bercampur gas airmata yang tenggelam oleh amis darah, erangan meminta belas kasihan dan ampun, kepala-kepala yang menggelinding!! “Astaga, di kepala-kepala itu masih terikat kain merah!!”
Aku jambak kain merah di kepalaku dan menghempaskannya. Aku bertahan sebisaku. Beberapa orang kawan melindungiku dengan menjadikan tubuh mereka sebagai tameng. Tak urung beberapa kali tulangku berderak terhantam balok kayu dan kulit tersayat pedang atau apa. Aku mulai meradang, memukul dan menendang ke segala arah. Tak kupedulikan lagi sakit dan perih. Aku hanya ingin pergi dari sini. Lalu kulihat satu celah. Aku meloncat, menerobos, berlari, menyeruduk siapapun yang menghalangi. Aku terus bergerak, menangkis menghindar, mengelak tebasan malaikat maut ilusif. Rasa takut mendorongku untuk terus berlari, lari, lari. Hingga jauh.
Aku berhenti ketika suara-suara itu tak terdengar lagi, atau mungkin karena kekuatan yang datang entah dari mana –yang memacuku berlari– pun pergi entah ke mana. Aku hanya berdiri, meresapi putaran bumi yang makin cepat dan getarannya yang mengolengkan tubuh. Oh, malam datang begitu cepat. Pandanganku gelap, hitam dan berputar. Aku tersungkur.
Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat. Aku ingin tidur, menutup mata dari kejamnya kehidupan hari ini, dan berharap esok aku bangun dengan amnesia.
Sebuah tangan halus kurasakan menyentuh tanganku. “Engkaukah yang datang, wahai Bidadari…!?!”

Dimana aku?
Dimana malam?
Dimana siang?
Mengapa yang ada hanya kegelapan dan kesunyian
Sedang jasadku tiada teraba
Dan jiwa entah berkelana kemana
Apakah kegelapan menyembunyikan pintu?
Ataukah kegelapan sendiri adalah pintu ke alam arwah
Mengapa kematian masih sisakan rasa sakit dan ingatan yang menakutkan?
Dan pahit yang bukan rasa

Selimuti aku, kegelapan
Bantu aku temukan kehangatan
Hingga jasadku hadir didalamnya
Tak perlu lagi dia mengembara
Ke setiap tempat demonstrasi
Ke setiap ruang diskusi
Ke setiap mimbar orasi

Tanpa jasadku, kegelapan
Aku berdiri tanpa berpijak
Perjalananku takkan sisakan jejak
Perkataanku takkan bekaskan simpati
Kehadiranku tak membawa kesan
Ritual doaku tak lagi menjura
Jiwaku takkan memiliki tempat bersemayam

Tanpa jasadku, kegelapan
Segala teori tak berguna
Amarah hanya jadi dendam
Dan luka takkan terbalut

Aku akan selalu butuh jasadku
Agar setiap ekspresi bebas tak berpasung

Jika kau temukan jasadku, kegelapan
Bawa ia ke sisi kesunyian
Agar ia dengar cerita
Tentang sakitnya luka pengkhianatan
Dan riskannya penghasutan

Jika ia telah mengerti
Biarlah ia pergi bersama kesunyian
Mencari jiwa yang sedang marah
Pada ketidakadilan
Pada perang
Pada kebenaran yang disembunyikan
Pada jasad yang tak mampu berbuat apa-apa

Mungkin kini dia berdiri di ambang kiamat
Meraung dan memaki takdirnya
Yang tak memiliki kekuatan melawan penindasan
Menyesali dan meratapi kelahirannya sebagai pecundang

Jika kau temukan jiwaku, kesunyian
Dekaplah dia dengan cinta
Bimbinglah dia memasuki jasadnya
Agar dia memiliki pundak tuk bersandar dan menangis

Jika jasad dan jiwa telah satu dalam kesunyian
Akal akan datang sendiri
Bersabda ihwal memiliki ketabahan
Ihwal memiliki kesabaran
Ihwal memiliki ketegaran
Ihwal memiliki pertobatan
Ihwal memiliki kebesaran jiwa
Ihwal memiliki keikhlasan
Ihwal memiliki cinta
Ihwal memiliki maaf
Ihwal penyerahan diri
Ihwal penghambaan pada Tuhan

Biarlah dia terus belajar
Diakhir sabda dia akan tahu
Penindasan terbesar ada dalam diri
Jika hati tak merdeka
Dari hawa angkara murka

Maafkan aku, kawan. Telah membuaimu dengan retorika kosong. Hingga kau ada di sini, di jalan yang aku pun tak pernah tahu batasnya. Dan semua berakhir begitu saja. Bersama tumpahan hujan dari langit kepiluan. Menenggelamkan mimpi tentang tanah merdeka.
Maafkan aku, kawan. Telah mematikan gerak pendulum dan membuat jam tak lagi berdetak semestinya. Meluruhkan harapan akan waktu. Berjalan mengiring perubahan, walau akhirnya harus berdiri di tiang eksekusi, yang kutegakkan di puncak gundukan tulang belulang pejuang-pejuang yang mati oleh pengkhianatan.
Maafkan aku, kawan. Atas jiwa yang arogan dengan menafikan sebuah interpretasi. Hamparan karpet merah yang kalian lalui, adalah darah dari korban sia-sia, setelah perselingkuhan yang sukses dengan sejarah, bahwa kitalah pengusung panji-panji, suara nurani rakyat.
Maafkan aku, kawan. Menggiring kalian pada genosida, yang tak pernah terbayang dalam pilihan hidup kita. Mungkin di sana arwah kalian marah dan mencaciku. Mengutuk kepengecutanku yang lari dari perjuangan kalian.
Maafkan aku, kawan. Meski kutahu marahmu tak berbatas kata maaf. Yang aku harap hanya kebesaran hati. Menerima rohku yang gelisah tak tentu. Pada derajat pejuang yang terendah.
Maafkan aku, kawan. Atas kata maafku yang tak banyak. Sebab kita tak pernah tahu. Kadar besarnya dosa pengkhianatan, bahkan pahala kerelaan menerima maaf.

Makassar, 13 Maret 2003.

Tidak ada komentar: