
Malam sebelum aksi dimulai. Kuawali dengan sebuah pergerakan sendiri, langkah yang harmoni. Melewati setiap gang sempit yang berpagar dinding rumah, jalan-jalan yang tak biasa dilalui petinggi negeri ini, jalan-jalan yang katanya milik pemerintah, tapi pemerintah sendiri tak pernah melaluinya. Ironis sekali. Tapi aku menikmatinya. Menghirup nafas orang-orang yang tertidur di balik dinding itu, merasai, mencerna nafas penderitaan, keletihan, kelaparan dan keputusasaan.
“Tariklah nafas sedalam-dalamnya, saudaraku. Karena di tanah air yang kita miliki sekarang ini, hanya udara yang tak perlu dibeli”
Lalu bayangan-bayangan membumbung dari atap-atap, berputar di atasku, menari dan tertawa. Diantara bayangan itu, sekelompok begitu asyik merangkai cahaya, membentuknya serupa istana, dan tamannya menjadi tempat bagi bayangan yang berkasih mesra. Bukankah bayangan-bayangan itu adalah roh-roh yang lepas dari jasad para pemimpi? Bukankah hanya di dunia mimpi mereka dapat menikmati keindahan?
“Bermimpi indahlah saudaraku, semestinya mimpi indahmu tak hanya dimulai di pembaringan”
“Bermimpi indahlah saudaraku, sebab esok kerasnya kehidupan juga dimulai dari pembaringan”
Aku harus kembali. Harusnya malam ini ada konsolidasi persiapan aksi, menyusun skenario dan perangkat-perangkat aksi, dan kawan-kawan seperjuanganku pasti mengharapkan kehadiranku. Tapi aku masih ingin di sini. Sendiri. Aku ingin berkonsentrasi, menghimpun pendaran asa dari roh-roh yang melayang, merangkumnya dalam semangat, yang entah patriotisme, entah chauvinisme. Bukankah untuk berekspresi aku perlu mendalami peranku? Bukankah perjuangan dimulai dari diri sendiri?
Di ujung gang, sebuah rumah, terlihat beranda yang diterangi bohlam 10 watt dan kepulan asap dari rokok sekelompok orang yang membentuk forum. Sebuah perhelatan kopi dan pisang goreng yang nyaris berakhir, perhelatan khas rakyat, kekeluargaan dan gotong royong.
“Kalau besok mahasiswa turun ke jalan, hamparkan karpet merah di jalan yang mereka lalui”
Kalimat dari pemimpin forum itu meresapkan makna ke dalam jiwaku. Mengajak sebuah perenungan. Menjadi penyimpul dari semangat yang dititip roh-roh yang melayang, mengokohkan sebuah tekad dan melepas kejumudan.
Roh-roh di angkasaDan pendaran selaksa asaBerpusar menjelma awan hitam“Kuremukkan kau tirani kejam”Arwah-arwah datang mengaminiMelayang membabi butaGemuruh jutaan mantra“Enyah kau penjajah jahanam”Inilah kodrat kita, kawan-kawanTuk selalu berdiri di depanGarda antipenindasanTakdir membawa kita ke siniMenjaga gapura bangsa dari rezim yang mengkhianati kepercayaan rakyatRezim yang mengokohkan status quoBahwa penindasan adalah sesuatu yang samar dan halalKawan-kawan,Saatnya mengawal komitmen ini Membela rakyat yang tertindasMenjatuhkan rezim yang berkuasa dan membentuk pemerintahan rakyatSebab rakyat telah mengilhami gerakan iniSepanjang jalan yang akan kita laluiHamparan karpet merah, akan melindungi langkah moral dari debu-debu pengkhianatanTetaplah di barisan ini, kawan-kawanKarena di barisan ini, kita lebih mencintai mars daripada hymneDi barisan ini, suara hati nurani lebih lantang daripada gemuruh halilintarDan lebih tajam dari miliaran sembiluMajulah, kawanSebab tak berguna menikam tubuh yang nuraninya telah dilukaiTak berguna membunuh jasad yang rohnya telah melihat lambaian tangan arwah para pahlawanTiada artinya penjara bagi jiwa-jiwa yang telah merdekaDan bedil-bedil tak dapat menggores perisai keyakinanRevolusi atau MatiSekali berarti, sudah itu matiMerdeka Siang itu langkah para demonstran terdengar begitu berderap, tegap dan dada membusung bangga. Inilah demonstrasi pertamaku yang sangat penuh semangat dan ramai. Sebuah people power. Ratusan bahkan mungkin ribuan massa mahasiswa tumpah di jalan, dengan jaket almamater dan spanduk-spanduk yang beraneka warna dan logo. Hanya ikat kepala mereka yang seragam. Merah.
Seorang tampil ke depan menjadi dirigen, memimpin para demonstran menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Langkah mereka pun semakin berderap dan seirama dengan lagu. Genderang yang ditabuh serta yel-yel berpadu seperti sebuah konser orkestra. Ya, sebuah orkestra jalanan yang sempurna.
Di tepi jalan, kerumunan orang-orang tampak menikmati aksi jalanan kami. Mereka melambai, mengacungkan jempol, mengepalkan tangan, bersorak dan mengelu-elukan. Demonstran semakin bersemangat hingga lagu yang mereka nyanyikan mulai tidak beraturan dan berulang-ulang. Tangan sang dirigen pun tidak kompak sudah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Setidaknya sedikit suntikan spirit ke dada mereka. Buktinya, hingga belasan kilometer berjalan, stamina mereka seolah tidak berkurang.
Sejenak perasaan bangga merambati dadaku. Aku ada di sini dan berperan besar dalam sebuah gerakan yang mungkin menentukan nasib bangsa. Sebuah revolusi. Setelah ini barangkali namaku akan tercatat dalam sejarah pergerakan, sebagai tokoh perubahan. Ah, tidak, tidak!! Bukankah itu berarti aku mengharapkan pamrih? Juga pengkhianatan atas amanah yang dititipkan rakyat dan roh-roh yang menginspirasiku semalam?
“Sudahlah, bukankah engkau belum tahu ending dari cerita ini?”“Hei, lihatlah!!”
Seorang demonstran menegurku dan mengacungkan telunjuknya ke depan. Menyingkap tabir lamunan yang menutupi mataku. Aku terkesiap. Di depan, aparat keamanan telah memblokir jalan. Barisan depan nampak barikade aparat yang membawa perisai dan pentungan. Dimana-mana terlihat polisi yang mondar mandir dengan senapan, kawat berduri, beberapa mobil lapis baja dan
water canon. Sesaat lagi kami sudah berhadapan dengan barikade pertama. Aku mulai mengamati situasi dan kondisi. Di sisi kanan kiri jalan kerumunan orang-orang nampak tegang. Mereka tak bersorak sorai. Diam dan kaku. Barangkali mereka membayangkan bentrokan yang mungkin terjadi antara demonstran dan aparat keamanan. Tapi benakku menangkap sesuatu yang aneh dari kerumunan orang-orang itu. Sesuatu yang misterius. Tiba-tiba terngiang kata-kata “Hamparkan karpet merah di jalan yang mereka lalui…”
“Bagaimana selanjutnya?!”
Satu suara yang bergetar dengan nada cemas bertanya. Pikiranku masih terfokus pada kerumunan orang-orang tadi. Berusaha memecahkan misterinya.
“target kita menduduki istana!”
Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh dan mencari sumber suara. Aku tahu betul target aksi ini bukan menduduki istana. Dan aku tahu betul dalam suara itu ada tekanan provokatif.
Sementara itu, jarak para demonstran dengan aparat semakin dekat. Mulai terjadi dorong mendorong. Demonstran berusaha membuyarkan barikade aparat. Sementara aparat merangsek maju mendesak. Aku berusaha menepi dan terus mengamati orang-orang itu.
“Serbu istana…!!!”
Teriakan menggelegar dari arah tengah massa bersama layangan batu ke arah aparat, menyulut konfrontasi. Massa demonstran terdepan mulai panik. Mereka terdesak oleh massa demonstran di belakang yang mendorong maju. Aparat terus merangsek maju dengan perisainya. Pentungan sudah digunakan. Lemparan batu makin deras menghujani aparat. Mereka membalas dengan pentungan dan tembakan ke udara. Gas airmata pun melayang kearah massa demonstran. Mereka makin panik, perempuan dalam barisan demonstran menjerit histeris. Suasana makin kacau, menegangkan. Massa demonstran berupaya bertahan. Segera kututup hidungku dengan sapu tangan, mencegah efek buruk gas airmata. Aku berusaha bergerak ke pinggir, menjauhi massa yang mulai brutal. Berusaha mendekati seorang aparat yang dari pakaiannya kuduga dialah komandan pasukan. Aku terus bergerak, meronta, menyibak tubuh demonstran yang menghalangi. Aku semakin dekat. Aku dapat melihatnya dengan jelas. Dia melepaskan topi dan berpaling kearah kerumunan orang-orang di tepi jalan.
Rasanya aku pernah melihat orang itu sebelumnya. Aku mengikuti arah pandangannya. Aku ingat. “Orang itu…”
Mendadak, sekelebat kilauan golok dari kerumunan orang-orang di pinggir jalan menyilaukan mataku. Tidak hanya satu, semua tiba-tiba menghunus senjatanya, golok, pedang, samurai, sangkur komando, kapak, badik, keris, balok kayu dan masih banyak lagi.
“ Masya Allah, dalam kerumunan orang-orang itu sama sekali tak ada perempuan…”
Seperti telah dikomando serentak orang-orang itu menyerbu barisan massa demonstran yang memang sudah kalang kabut. Mereka kocar kacir, seolah angin tornado menghantam mereka dari segala penjuru. Massa demonstran terkepung. Dari arah depan aparat keamanan membombardir dengan pentungan dan tembakan yang membabi buta. Sementara sisi kiri, kanan dan belakang, massa sipil begitu beringas mengayunkan senjatanya. Ini sebuah jebakan, dan massa demonstran telah terjebak dalam ladang pembantaian. Pemandangan yang mahamengerikan. Demonstran berlarian panik, suara senjata yang beradu dengan tubuh, asap-asap hitam membumbung ke langit, api yang berkobar-kobar, jeritan demonstran yang melengking, dentum bedil dan senapan otomatis, tubuh-tubuh yang terburai, darah memuncrat disana-sini, teriakan-teriakan pembantaian, raungan sirene, bau mesiu bercampur gas airmata yang tenggelam oleh amis darah, erangan meminta belas kasihan dan ampun, kepala-kepala yang menggelinding!! “Astaga, di kepala-kepala itu masih terikat kain merah!!”
Aku jambak kain merah di kepalaku dan menghempaskannya. Aku bertahan sebisaku. Beberapa orang kawan melindungiku dengan menjadikan tubuh mereka sebagai tameng. Tak urung beberapa kali tulangku berderak terhantam balok kayu dan kulit tersayat pedang atau apa. Aku mulai meradang, memukul dan menendang ke segala arah. Tak kupedulikan lagi sakit dan perih. Aku hanya ingin pergi dari sini. Lalu kulihat satu celah. Aku meloncat, menerobos, berlari, menyeruduk siapapun yang menghalangi. Aku terus bergerak, menangkis menghindar, mengelak tebasan malaikat maut ilusif. Rasa takut mendorongku untuk terus berlari, lari, lari. Hingga jauh.
Aku berhenti ketika suara-suara itu tak terdengar lagi, atau mungkin karena kekuatan yang datang entah dari mana –yang memacuku berlari– pun pergi entah ke mana. Aku hanya berdiri, meresapi putaran bumi yang makin cepat dan getarannya yang mengolengkan tubuh. Oh, malam datang begitu cepat. Pandanganku gelap, hitam dan berputar. Aku tersungkur.
Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat. Aku ingin tidur, menutup mata dari kejamnya kehidupan hari ini, dan berharap esok aku bangun dengan amnesia.
Sebuah tangan halus kurasakan menyentuh tanganku. “Engkaukah yang datang, wahai Bidadari…!?!”
Dimana aku?Dimana malam? Dimana siang?Mengapa yang ada hanya kegelapan dan kesunyianSedang jasadku tiada terabaDan jiwa entah berkelana kemanaApakah kegelapan menyembunyikan pintu?Ataukah kegelapan sendiri adalah pintu ke alam arwahMengapa kematian masih sisakan rasa sakit dan ingatan yang menakutkan?Dan pahit yang bukan rasaSelimuti aku, kegelapanBantu aku temukan kehangatanHingga jasadku hadir didalamnyaTak perlu lagi dia mengembaraKe setiap tempat demonstrasiKe setiap ruang diskusiKe setiap mimbar orasiTanpa jasadku, kegelapanAku berdiri tanpa berpijakPerjalananku takkan sisakan jejakPerkataanku takkan bekaskan simpatiKehadiranku tak membawa kesanRitual doaku tak lagi menjuraJiwaku takkan memiliki tempat bersemayamTanpa jasadku, kegelapanSegala teori tak bergunaAmarah hanya jadi dendamDan luka takkan terbalutAku akan selalu butuh jasadkuAgar setiap ekspresi bebas tak berpasungJika kau temukan jasadku, kegelapanBawa ia ke sisi kesunyianAgar ia dengar ceritaTentang sakitnya luka pengkhianatanDan riskannya penghasutanJika ia telah mengertiBiarlah ia pergi bersama kesunyianMencari jiwa yang sedang marahPada ketidakadilanPada perangPada kebenaran yang disembunyikanPada jasad yang tak mampu berbuat apa-apaMungkin kini dia berdiri di ambang kiamatMeraung dan memaki takdirnyaYang tak memiliki kekuatan melawan penindasanMenyesali dan meratapi kelahirannya sebagai pecundangJika kau temukan jiwaku, kesunyianDekaplah dia dengan cinta Bimbinglah dia memasuki jasadnyaAgar dia memiliki pundak tuk bersandar dan menangisJika jasad dan jiwa telah satu dalam kesunyianAkal akan datang sendiriBersabda ihwal memiliki ketabahanIhwal memiliki kesabaranIhwal memiliki ketegaranIhwal memiliki pertobatanIhwal memiliki kebesaran jiwaIhwal memiliki keikhlasanIhwal memiliki cintaIhwal memiliki maafIhwal penyerahan diriIhwal penghambaan pada TuhanBiarlah dia terus belajarDiakhir sabda dia akan tahuPenindasan terbesar ada dalam diriJika hati tak merdekaDari hawa angkara murkaMaafkan aku, kawan. Telah membuaimu dengan retorika kosong. Hingga kau ada di sini, di jalan yang aku pun tak pernah tahu batasnya. Dan semua berakhir begitu saja. Bersama tumpahan hujan dari langit kepiluan. Menenggelamkan mimpi tentang tanah merdeka.
Maafkan aku, kawan. Telah mematikan gerak pendulum dan membuat jam tak lagi berdetak semestinya. Meluruhkan harapan akan waktu. Berjalan mengiring perubahan, walau akhirnya harus berdiri di tiang eksekusi, yang kutegakkan di puncak gundukan tulang belulang pejuang-pejuang yang mati oleh pengkhianatan.
Maafkan aku, kawan. Atas jiwa yang arogan dengan menafikan sebuah interpretasi. Hamparan karpet merah yang kalian lalui, adalah darah dari korban sia-sia, setelah perselingkuhan yang sukses dengan sejarah, bahwa kitalah pengusung panji-panji, suara nurani rakyat.
Maafkan aku, kawan. Menggiring kalian pada genosida, yang tak pernah terbayang dalam pilihan hidup kita. Mungkin di sana arwah kalian marah dan mencaciku. Mengutuk kepengecutanku yang lari dari perjuangan kalian.
Maafkan aku, kawan. Meski kutahu marahmu tak berbatas kata maaf. Yang aku harap hanya kebesaran hati. Menerima rohku yang gelisah tak tentu. Pada derajat pejuang yang terendah.
Maafkan aku, kawan. Atas kata maafku yang tak banyak. Sebab kita tak pernah tahu. Kadar besarnya dosa pengkhianatan, bahkan pahala kerelaan menerima maaf.
Makassar, 13 Maret 2003.