Senin, 02 Februari 2009

HALUSINASI

Ia lihat beratus-ratus ular memasuki kamarnya melalui pintu yang terbuka merayapi lantai. Di atas tempat tidur ia hanya mampu bergidik ngeri, sebab tubuhnya serasa didekap oleh suatu kekuatan yang amat besar. Ia ingin berteriak, tapi mulutnya seolah dibungkam oleh tangan-tangan raksasa yang muncul dari bawah. Sementara matanya dipaksa melotot menyaksikan adegan horor ketika ular-ular itu bergerak menyatu, saling bergelut, saling melilit, hingga membentuk sesosok ular yang sangat besar. Ia makin bergetar ketika dari tubuh ular itu melesak keluar sepasang tangan disertai kepulan asap putih tebal. Perlahan kepulan asap putih itu buyar dan menampakkan sesosok tubuh perempuan yang melangkah mendekatinya. Ia makin ketakutan. Mukanya basah oleh keringat. Dari jarak yang tidak mungkin perempuan itu menjulurkan tangan berusaha menyentuhnya.
“Fa. Bangun, honey…”
Spontan ia bangun terduduk, pandangannya tajam menyelidiki sosok perempuan di depannya, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kamar. Berulangkali ia mengucek mata, mengharap kesadarannya pulih.
“Hey, Boy. Wake up! Kamu ada kuliah hari ini…”
Masih setengah sadar ia meraih handuk dari sisi tempat tidur lalu menyeka wajahnya yang basah oleh keringat.
“Ada apa, Honey. Kamu mimpi ?”
Ia bergerak turun, melangkah menuju jendela dan membukanya lebar-lebar. Udara pagi membawa aroma bunga dari taman merangsek masuk ke hidungnya melengserkan sesak yang sempat menguasai. Setelah lega ia berbalik menatap Deasy – gadis cantik yang jadi pacarnya sejak empat tahun yang lalu – yang memperhatikan polah anehnya.
“Mimpiku sangat buruk. Lebih buruk dari putus cinta.”
Satu jitakan mesra ia terima di kepala, kemudian berubah menjadi belaian di rambutnya yang masih lusuh.
“Sudahlah. Sekarang kamu buruan mandi, berpakaian dan berangkat kuliah. Jangan sampai kamu terlambat lagi.”
Deasy mengalungkan handuk di lehernya lalu mendorongnya ke arah pintu. Ia menyambar kotak alat mandi dan melesat keluar.
Mengguyur tubuhnya di kamar mandi ia merasakan kelegaan. Lega telah kembali ke dunia yang sebenarnya. Bukan dalam mimpi yang sangat nyata ia rasakan. Ia sangat bersyukur Deasy hadir di saat yang tepat, ketika kondisinya terpojok dan kritis. Deasy memang selalu begitu. Deasy selalu saja muncul ketika ia sangat membutuhkannya. Baginya Deasy bukan saja sekedar seorang kekasih, tapi juga bidadari penyelamatnya. Deasy tipe gadis yang perhatian. Dia senantiasa menyempatkan diri mampir untuk sekedar mengingatkan waktu kuliah atau mengantar sarapan.
Sangat banyak hal yang bisa ia banggakan dari seorang Deasy, tapi bagian terbesar dari kebanggaan itu adalah kesetiaannya. Deasy punya banyak alasan untuk meninggalkannya, tapi entah kenapa dia tak pernah lakukan itu. Padahal sering sekali Deasy memergokinya bersama Dinna – dua bulan lalu sudah mati akibat overdosis – atau dengan Molly yang bukan gadis berakhlak. Mungkin hatinya telah sarat oleh kata maaf dan bijaksana hingga tak ada lagi ruang bagi rasa cemburu dan marah. Dari mulut Deasy ia banyak mendengar kalimat yang bijak tanpa tendensi atau saran tanpa ambisi. Semua mengalir begitu saja. Seperti ketika Deasy menganjurkannya berhenti berbisnis dan lebih menekuni kuliah, atau ketika Deasy minta dikenalkan pada Dinna dan Molly. Baginya permintaan itu adalah agar ia tak perlu berselingkuh, atau mungkin itu berarti perselingkuhannya tak perlu ia sembunyikan. Toh, Deasy sudah tahu. Tapi yang membuatnya kagum adalah kemampuan Deasy untuk memilih kata-kata yang tidak berbentuk perintah atau larangan, sehingga ia merasa tetap diberi kebebasan dan privasi, juga mendorongnya untuk lebih bertanggung jawab.
“Thank’s, Deasy. Mulai kini kau akan mendapatkan diriku bersama kedewasaanku untuk selalu memberikan cinta yang terbaik yang aku miliki. Aku berjanji membalas cinta yang selama ini tulus kau berikan…”
Ia meneguhkan janjinya pada siraman terakhir.
Ia meraih handuk lalu melingkarkannya di pinggang. Melangkah sangat ringan menuju kamarnya. Ia mendapati Deasy sedang menekuni komputer, menarikan jari jemarinya yang lentik di atas tombol-tombol keyboard. Barangkali ia ada tugas yang sangat mendesak.
“Kamu ikut pemilihan mahasiswi teladan di kampusmu?”
Ia bertanya sambil melongokkan kepala dari balik pintu lemari yang sengaja dibuka lebar-lebar untuk melindunginya yang sedang berpakaian.
“Tidak juga. Persyaratannya terlalu berat. Mesti smart dan nggak penyakitan. Sedang untuk tugas ini saja aku harus siap-siap menderita wasiran karena duduk terlalu lama.”
“Kamu butuh bantuanku?”
“Nggak usahlah. Kamu kuliah saja. Lagi pula kalo nggak mengetik rasanya jari-jariku jadi kram…”
“Maksudku, bantuan untuk beli obat wasir di apotik…”
Ia telah selesai berpakaian. Kini ia berdiri di belakang Deasy, memperhatikan ketikan kekasihnya yang tidak keki oleh candaannya.
“Jatah kafeinmu aku taruh di gelas sana. Habiskan sebelum ia menghabisimu…”
Deasy menghentikan sejenak aktivitasnya. Mungkin dia merasa terganggu.
“Tetaplah di sini, tunggu sampai aku pulang. Ada yang ingin aku bicarakan.”
Ia lihat Deasy mengangguk.
Ia habiskan kopinya dengan dua kali teguk, lalu menyambar tas dan kunci motorsportnya yang tergeletak di sisi mini compo. Ia melesat, tapi tak secepat kilat.

Ia berlari-lari kecil menyusuri koridor kampus menuju ruang kuliah. Ia perkirakan, kalau dosennya tepat waktu, ia telah terlambat seperempat jam. Tapi ia tidak begitu khawatir, dosen mata kuliah ini terkenal cukup toleran. Di depan pintu ruang kuliah ia berhenti sejenak, mengatur nafas dan kepercayaandirinya. Ia menyentuh gagang pintu, menariknya dengan perlahan dan melangkah masuk. Langkahnya terhenti, mukanya berubah pucat. Ia terpaku.
Di dalam ruang kuliah ia saksikan ratusan ular bergulung di atas kursi-kursi dengan kepala tegak, mata mereka memandang dengan tajam serta lidah yang terjulur keluar masuk menimbulkan suara desis yang aneh. Di dekat white board, seekor ular yang lebih besar berdiri dan menatapnya dengan mata berkilat merah. Ia makin bergidik. Ia mencoba surut mundur ketika ia lihat ular besar itu bergerak ke arahnya, tapi kakinya serasa terpatri ke lantai. Ia mencoba menutup mata, tapi yang terjadi malah matanya makin melotot dan mulutnya menganga tanpa suara. Kini ular itu tepat berada di depan hidungnya. Kesadarannya nyaris hilang, hingga ia rasakan tepukan agak keras di pundaknya.
“Hei. Kamu tidak salah ruangan?”
Ia tersentak, lalu melompat mundur, matanya jelalatan memperhatikan seluruh isi ruangan. Ia saksikan teman-teman kuliahnya tersenyum dan tertawa melihat tingkahnya. Sementara di hadapannya Pak Doldy – dosennya yang pendek, botak dan bersuara keras – mengurut dada. Mungkin Pak Dolby terkejut ketika ia melompat mundur. Semoga ini bukan ilusi. Refleks ia menampar pipinya, ada rasa sakit. Cukup membuktikan ia kembali ke alam nyata.
“Kamu peserta kuliah saya, kan? Kalo bukan saya minta kamu tutup pintunya dari luar!”
Ia masih diam, berusaha membenahi pikirannya yang terserak cerai berai.
“Hei. Kamu peserta kuliah saya, kan?” Suara Pak Dolby makin ditekan keras. Mungkin itu sebabnya ia diberi nama Pak Dolby.
“I….iya Pak!” Tergagap ia menjawab.
“Duduklah!!”
Ia menutup pintu lalu berjalan menyisir kursi-kursi kuliah mencari tempat yang masih kosong. Dari sudut belakang ia lihat lambaian tangan Erdin – sahabatnya yang selalu menyediakan tempat duduk setiap kali ia terlambat – memanggilnya. Ia bergegas ke sana, menghempaskan pantatnya di sisi Erdin. Ia menarik sapu tangan dari saku belakang celananya, lalu menyeka wajah dan telapak tangannya yang basah oleh keringat dingin.
“Ada apa? Tadi mukamu pucat seperti melihat hantu!”Erdin bertanya seperti berbisik.
“Entahlah. Mungkin aku mengalami halusinasi pascamimpi buruk. Waktu aku masuk, dalam ruangan ini seperti penuh oleh ular-ular yang mengerikan. Kejadian yang hampir sama dengan mimpiku tadi pagi”
Ia mendesah, menghembuskan nafas dan mengeluarkan sisa-sisa ketakutannya.
“Pantas mukamu seperti sangat ketakutan. Untung kamu nggak sampai kencing di celana”
“Ya. Untungnya aku pakai pembalut”
Ia menimpalinya dengan bercanda, membuat Erdin tersedak menahan tawa. Tapi ia sendiri tak menikmati candaannya. Sepanjang kuliah ia tak mampu berkonsentrasi. Pikirannya terus melekat pada bayangan-bayangan tadi. Ia tak mampu mengusirnya meski ia sangat ingin, bahkan suara tenor Pak Dolby tidak cukup membantu. Ia ingat mimpi buruknya, ia ingat halusinasinya, ia ingat Deasy yang ia tinggalkan sendiri di kamar. Oh, andai Deasy ada di sini, aku tak akan segamang ini. Aku pasti akan tenang menghadapi semua ini.... Tapi ia tak mungkin bisa menghadirkan Deasy dengan utuh ke sisinya. Ia hanya bisa menghayalkan, Deasy datang membelai jiwanya, mengusir siluman-siluman ular yang mengintimidasi pikirannya. Andai aku tak perlu berangkat kuliah, mungkin banyak hal yang bisa aku lakukan bersama Deasy. Barangkali aku bisa membantunya menyelesaikan tugas atau sekedar menunjukkan perubahan diriku. Kini aku telah lebih dewasa. Kini aku ingin menunjukkan cintaku yang sesungguhnya. Tak perlu aku hadir di sini dan menjadi bahan tertawaan. Di sini aku terlihat bodoh dan goblok. Di sini aku tidak berdaya dan lemah menghadapi bayangan itu sendiri. Tanpa Deasy ketakutan itu sulit kuhilangkan. Oh. Andai Deasy ada di sini….
Tiba-tiba ia sangat ingin pulang.

Ia memacu motor sportnya keluar dari area parkir universitas. Tujuannya pasti, ia ingin segera sampai di rumah kostnya. Kembali ke Deasy kekasihnya. Menemukan kedamaian dalam pelukannya yang hangat, melegakan kegelisahannya dengan belaian yang halus, lalu berdansa hingga larut dan tertidur pulas di pangkuannya. Tak usah khawatir mimpi buruk itu datang lagi, karena ketika ia terjaga, ia akan menemukan wajah Deasy yang bening. Lalu Deasy akan mengisahkan cerita cinta, sampai ia terlelap lagi dan mimpi indah, berdua melayang di awang-awang dan menggapai nirwana.
Tapi sepertinya harapan tak semudah yang dibayangkan. Di depan ia lihat kendaraan lainnya melambat. Sementara di sisi jalan iring-iringan puluhan orang berjalan dengan membawa spanduk. Ada demonstrasi lagi. Ia melambatkan laju kendaraannya dan berusaha mencari celah yang muat dilalui. Ia cukup lincah mengendalikan setir motornya ke kanan dan ke kiri memasuki sela-sela mobil dan angkot yang merayap pelan. Untunglah kemacetan kali ini tidak terlalu panjang. Ketika ia mencoba menyalip mobil, tiba-tiba di depannya berdiri seorang perempuan yang nyelonong hendak menyeberang. “oh, my God!!!” Teriaknya dalam hati. Ia terkejut dan kehilangan konsentrasi. Pikirannya terbang. Ingatan buruk menguasai. Wajah perempuan itu sangat mirip dengan perempuan jelmaan ular dalam mimpinya. Seketika ia melepas kopling dan menarik gas sekuat tenaga. Crash…. Perempuan itu terpelanting beberapa meter, terguling dan terjerembab dengan darah yang mengalir deras dari kepala. Ia berusaha menguasai motornya dengan menginjak dan menekan rem dalam-dalam. Ia berhasil, motornya berhenti dalam keadaan tegak.
Ia berpaling menyaksikan sosok perempuan yang tergeletak bersimbah darah, entah masih bernyawa atau tidak. Ia bergidik. Ia lihat perlahan-lahan tubuh perempuan itu menyusut, kaki dan tangannya menyatu, lalu menjelma sesosok ular yang cukup besar. Ia makin bergidik ketakutan. Ia edarkan pandangan ke sekelilingnya. Para pejalan kaki, para demonstran dan pengguna jalan lainnya tertegun menyaksikan insiden itu. Ia menahan nafas, ketakutan menguasainya. Ia lihat orang-orang dengan wajah terkejut dan marah itu berubah wujud menjadi sekelompok ular yang sangat mengerikan dan murka.
“Orang itu menabraknya!!”
“Dia membunuhnya!!”
Ia kaget. Ular-ular itu fasih berbahasa manusia. Adakah semua ini nyata?! Ataukah ia berhalusinasi? Ia tak mampu menguasai kegugupannya. Tangannya bergetar. Mesin motornya meraung-raung. Nyalinya ciut ketika ular-ular itu bergerak coba mengurungnya.
“Hei. Dia mau kabur!!”
“Tangkaaap…!!”
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan segera ia geber gas, menginjak persneling dan melepas kopling. Motornya meloncat. Beberapa ekor ular yang coba menghadang pergerakannya ditabrak dan dilindasnya. Yang lain berusaha menutup ruang geraknya, tapi ia lebih lincah meliuk-liuk, mengelak dan menghindar. Entah berapa ekor ular lagi dilindasnya. Ia memacu kecepatan motornya, melesat kencang. Ia harus kabur, kabur, kabur.
“Jangan biarkan dia lolos!”
Tapi ia berhasil lolos. Ular-ular yang mengejarnya sudah jauh tertinggal. Ia tak mengurangi kecepatan motornya, bahkan makin dipacunya hingga batas kecepatan tertinggi yang pernah digunakannya. Ketakutan membuat ia seperti itu. Kesetanan. Ia terus dicekam ketakutan.
“Apa yang terjadi pada diriku??”
Sepanjang jalan yang dilaluinya, ia tak melihat satupun manusia. Yang ada hanya ular-ular yang mengerikan. Ia lihat ular-ular melongokkan kepala dari jendela bis dan angkot. Ia lihat ular-ular yang berjubel di tepi jalan, di pusat-pusat perbelanjaan, di kantor-kantor, di rumah-rumah. Ia lihat ular-ular yang menghentikan kendaraannya karena lampu merah. Tapi ia tak mungkin ikut berhenti di situ, di sisi ular-ular yang menakutkan yang mungkin melilit dan memangsa dirinya dengan bisanya yang mematikan. Ia terus memacu motornya menerobos lampu merah. Ia nyaris menabrak lagi seekor ular yang menyeberang jalan. Ia menghindar, ular itu berteriak memaki. Ia tak peduli dan makin menekan gas. Ia dengar bunyi peluit disusul raung sirene. Kini ular-ular itu mengejarnya. Ketakutannya kian menjadi-jadi. Sekelebat bayangan maut melintas siap menelannya. Ia belum mau mati. Ia hanya ingin pulang menemui kekasihnya, menumpahkan segala ketakutannya akan hari yang buruk. Ia hanya ingin segera berada dalam dekapan Deasy yang melindungi. Ia kebut motornya masuk lorong-lorong sempit, jalan-jalan tikus, lalu keluar lagi ke jalan raya, berusaha menyesatkan para pengejarnya. Hingga ia tak dengar lagi raung sirene. Rumah kostnya tak jauh lagi, kira-kira dua belokan. Mendadak, di belokan pertama sebuah taksi nyelonong dengan kecepatan tinggi. Geragapan ia tepikan motornya, tapi supir taksi yang panik itupun mengikuti arahnya. Ia tak mungkin bisa menghindari tabrakan. Ia melompat ke semak-semak di tepi jalan, sedang motornya terus meluncur ke arah taksi. Percikan api dari gesekan besi dengan aspal dan tumpahan bensin memicu sebuah ledakan besar ketika dua kendaraan berbenturan dengan keras. Ia rasakan tanah bergetar hebat. Api berkobar menimbulkan asap hitam yang menjulang ke angkasa. Ia tersungkur, sekujur tubuhnya terasa remuk. Darah mengalir dari kulitnya yang lecet. Ia coba berdiri. Dari tempat itu ia saksikan tiga sosok ular yang terbakar merayap keluar dari rongsokan taksi. Mereka menjerit, berguling, berteriak, mengaduh. Ia tidak peduli. Terhuyung ia berlari pergi. Pergi. Mencari jawab dari pertanyaan: “Apa yang terjadi pada diriku?”

Ia sempoyongan memasuki kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia berpaling ke arah jendela lalu melompat untuk menutupnya. Ia masih sangat dicekam ketakutan. Tubuhnya basah oleh peluh, darah mengalir dari kening dan bibirnya. Berdebu dan kotor. Deasy yang sedang asyik di depan komputer terperanjat kaget.
“Tolong aku, Deasy. Mereka ingin membunuhku. Lindungi aku, Des!!”
“Siapa mereka, sayang ?”
“Bayangan. Ular-ular siluman dalam mimpiku datang lagi, mereka memburuku. Mereka ingin membunuhku. Mereka ada di mana-mana. Aku takut mereka menemukanku…” Ia tak kuat lagi, tubuhnya terjerembab jatuh ke lantai. Deasy melompat untuk menahannya, membimbingnya duduk, lalu merengkuh tubuhnya dalam dekapan yang hangat. Ia sandarkan kepala ke bahu Deasy. Ia menangis.
“Tenanglah, sayang. Tak akan ada lagi yang mengusikmu. Takkan kubiarkan mimpi-mimpi itu menguasaimu. Takkan kubiarkan mereka menyentuh kekasihku…” Deasy menenangkan kekasihnya dengan mendekapnya lebih erat, membelai, mengusap peluh dan darah dengan kelembutannya.
“Oh. Apa yang terjadi pada diriku ?”
Ia sesenggukan, luapan emosinya tak segarang tadi.
“Sudahlah, sayang. Kamu hanya berhalusinasi. Kamu hanya terlalu terbebani oleh mimpi buruk, oleh kondisimu yang sedang labil. Mungkin kamu butuh istirahat, melepaskan diri dari rutinitasmu. Kamu butuh sedikit penyegaran”
“Entahlah, tapi aku lihat mereka seperti nyata!”
“Inilah kebenaran, sayang. Kamu di dunia nyata sekarang”
Lalu Deasy menarik kepalanya dan mendaratkan kecupan di keningnya yang masih dilelehi darah. Perlahan kecupan itu turun ke bawah. Bibir mereka bersentuhan, saling melumat, saling menggigit, saling menjilat, saling memainkan lidah. Sesaat mereka terhanyut. Ia menemukan perasaan baru. Perasaan yang mampu menyingkirkan ketakutan dan kegelisahan dari jiwanya. Kini ia tenang dan bergelora, seperti debur ombak yang perlahan menyentuh pantai. Deasy memang hebat. Mampu meredakan ketakutannya. Mampu menariknya dari lubang hitam yang nyaris merenggut harapannya. Mampu memberikan perlindungan dari siluman-siluman sangar bersisik berbau amis. Deasylah jawaban dari semua kejadian buruk yang menimpanya hari ini. Ia beruntung memiliki Deasy, termasuk bibirnya yang bagai permen bolong. Bibir yang merubah gelora ketakutan menjadi gairah asmara. Sekarang ia sangat yakin, cintanya hanya untuk Deasy seorang. Ia ingin berterima kasih, tapi ia rasakan sesuatu yang aneh mendesak masuk melalui sela-sela bibirnya dan menyentuh langit-langit tenggorokannya. Sontak ia mendorong, memaksa Deasy terjengkang ke lantai. Separuh nyawanya serasa dicabut paksa melalui setiap lubang pori-pori kulitnya saat menyaksikan lidah hitam bercabang terjulur dari bibir Deasy yang menyeringai memperlihatkan dua pasang taring yang runcing berlendir. Sisik-sisik hijau bermunculan dari kulit. Tubuh Deasy menggeliat-geliat, menari laksana mengikuti irama seruling. Asap putih mengepul.
“Tidaaaak…!!”
Ia berteriak ketakutan. Ia lihat sekujur tubuh Deasy telah berubah menjadi seekor ular besar berwarna hijau menyilaukan. Ia terjejer ke belakang, tapi tubuhnya tertahan oleh tempat tidur. Seluruh tubuhnya telah mandi keringat dingin. Ia teriak makin keras.
“Kau… kau juga bayangan itu. Kau juga mimpi burukku…”
Ia bergidik ngeri. Jalan mundur satu-satunya adalah naik ke tempat tidur. Ia sukses melakukannya, tapi ular hijau itu bergerak makin mendekat.
“Bangunkan aku, Deasy. Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini. Katakan ini tidak benar. Katakan ini tidak nyata. Katakan ini hanya mimpi…”
Raungannya sangat pilu. Ketakutannya telah terakumulasi menjadi keputusasaan.
“Maafkan aku, Alfa. Memang sudah seharusnya kamu tahu kebenaran ini. Saatnya telah tiba. Apa yang kau lihat ini benar dan nyata. Kau tidak sedang mimpi atau berhalusinasi. Inilah dunia yang nyata, dunia kita, dunia para siluman ular. Kita adalah manusia-manusia yang dikutuk. Manusia-manusia yang jika memasuki masa dewasa akan mengalami perubahan menjadi ular. Umumnya para lelaki dari kaum kita akan berubah ketika berumur tujuh belas tahun, sedang yang perempuan lebih cepat dua tahun. Entah mengapa kau mengalami kelainan. Kedewasaanmu datang terlambat. Karenanya empat tahun yang lalu Raja Siluman Ular mengutusku untuk mendampingimu menjalani proses pendewasaanmu. Konon katanya kedewasaan akan cepat datang jika kau mengerti makna cinta yang sesungguhnya. Hari ini kau telah mengerti, kau telah dewasa. Lihatlah dirimu…” Ular hijau itu seperti menghipnotisnya dan menghadirkan sebingkai cermin besar di hadapannya. Di sana ia lihat kepalanya yang mulai mengecil, matanya memerah, mulutnya makin melebar menyembulkan taring yang tajam, rambutnya seperti ditarik masuk ke dalam batok kepalanya dan berganti dengan tumbuhnya sisik berwarna coklat belang di seluruh permukaan kulit. Lidahnya yang bercabang terjulur mendesis… Ini pemandangan yang sangat gila. Ia tak tahan lagi dan melolong setinggi langit. Ia himpun seluruh kekuatan yang tersisa dalam kepalannya dan menghantam cermin hingga pecah berkeping-keping, serpihan-serpihannya jatuh bergemerincing di lantai, lalu menjelma ribuan ular kecil mendesis berlarian masuk ke tubuh ular hijau.
“Tidaaak!! Ini tidak nyata. Ini hanya mimpi…” Suaranya parau meragu, antara maya dan realita.
“Terimalah, Alfa. Ini kenyataan hidup yang haru kamu jalani. Tapi tidak berarti semua yang pahit tidak memiliki harga…”
“Pergi…!!”
Erangan ketidakberdayaan mengalir pasrah. Ia kalah.
“Memang aku harus pergi. Tugasku telah selesai. Kini kau berjuanglah sendiri. Awali kedewasaanmu dengan mengenal dan mencintai hakikat dirimu apa adanya…”
Tak ia lihat lagi kemana ular itu pergi dan lenyap.

Ia terdampar di sudut kamar beku memeluk kedua lututnya. Tak berani ia tutup mata, terus awas dan waspada. Telinganya masih terus mendengar suara desis ular yang ramai, seolah mereka mengepung kamarnya dan terus menanti saat ia lengah untuk menyerang. Tak pernah ia merasa aman, meski ia telah menumpuk meja, kursi, komputer dan tempat tidur di belakang pintu, lemari tak bercermin telah bersandar menutupi jendela dan ventilasi telah penuh dengan papan tempat tidur yang dipaku serampangan. Tak ada cahaya yang membuatnya bisa membedakan siang dan malam. Ia tak mampu mengusir ketakutan yang terus mencekamnya. Ketika ia menyalakan radio, yang terdengar hanya desis ular mendesak masuk hendak menggerogoti gendang-gendang telinganya. Ketika ia menyalakan televisi, terlihat hanya ular-ular betina yang menari bugil sambil berpelukan dengan ular yang berkepala plontos dan berperut buncit kekenyangan. Ia banting elektronik itu hingga pecah berantakan memenuhi lantai. Setiap detik ia tersentak, detak jam seperti suara langkah malaikat maut yang siap mencincangnya.
Penyesalan menghampiri dirinya. Mengapa ketika ia mengikrarkan perubahan malah jadi bumerang. Ia tidak siap menghadapi semua ini. Kedewasaan ternyata menakutkan dan radikal, misterius dan laten.
“Sudahlah, bangunkan aku. Hentikan semua mimpi buruk ini. Ini sudah terlalu panjang”
Ia terus meracau pilu, memanggil Deasy – yang sebenarnya – atau siapapun datang membangunkannya, mengatakan bahwa semua yang ia alami hanyalah bunga tidur, dan ia terbangun mendapati dunia yang nyata tanpa siluman-siluman menghantui hidupnya, lalu ia dapat menjalani kehidupan yang bahagia dan indah bersama Deasy hingga akhir hayat. Tapi….
Betulkah ini hanya mimpi buruk dan halusinasinya?
Ia seperti menjelajahi sebuah labirin yang berliku, gelap dan sangat panjang. Ketakutan menuntunnya hingga tiba di sebuah ruangan yang hanya memiliki satu pintu yang tertutup rapat. Sebuah pintu yang mungkin jalan keluar dari labirin. Tapi ia tak berani membukanya, sebab pintu itu terus bergetar oleh gedoran yang sangat keras. Telinganya menangkap suara-suara teriakan yang memanggil namanya dari balik pintu. Mungkin ular-ular di luar sana sudah tidak sabar hendak menerobos masuk. Ia merepet ke tembok. Ketakutannya makin menjadi-jadi.
“Alfa, kami Polisi. Buka pintunya, kalau tidak, kami dobrak!!”
Jangan tertipu Alfa, mereka bukan polisi. Mereka pasti ular-ular itu. Batinnya memperingatkan agar ia tetap waspada. Pintu itu makin bergetar, bahkan meja, kursi, komputer dan tempat tidur yang mengganjalnya pun bergerak sedikit demi sedikit ke belakang.
“Dobrak pintunya!!”
“Satu….”
“Dua…”
“Tigaaaa….”
Ia dengar dentuman keras menghantam pintu membuat komputernya terpelanting jatuh. Pintu terbuka sedikit. Dari celah pintu yang sangat sempit itu ia lihat bayangan-bayangan hitam menyeringai. Mereka sangat brutal. Ia panik. Sedikit lagi pintu akan terbuka dan mereka masuk menangkapnya. Mungkin mereka akan langsung menyantapnya ramai-ramai. Atau mungkin mereka akan merantainya dan diseret ke hadapan raja siluman ular, lalu kepalanya menjadi penghias meja perjamuan dengan raja siluman dari negeri lain. Atau mungkin ia akan dikerangkeng dan dipertontonkan dalam sirkus.
“Aku tidak mau. Aku harus lari…”
Sangat panik ia dorong lemari -yang menutupi jendela- ke arah pintu untuk memperkuat barikade penghalang. Ia tidak peduli seluruh badannya bergetar lemah. Batinnya memerintahkan untuk segera pergi. Mereka tidak boleh menemukannya di sini. Ia buka jendela. Selarik sinar matahari menyilaukan menghantam wajahnya yang kuyu karena tak pernah tidur. Ia melompat ke halaman.
“Itu dia!”
“Jangan lari. Kami Polisi!”
Di pintu pagar ia lihat dua orang polisi bersenjata bergerak ke arahnya.
“Jangan percaya. Mereka ular-ular yang menyamar jadi polisi”
Batinnya menjerit. Mereka tidak boleh menangkapnya. Ia mengambil ancang-ancang. Gelora ketakutan memberi tambahan kekuatan, jantungnya berdetak keras memompa adrenalin ke seluruh tubuh. Ia lari, melompat pagar, lari lagi. Lari. Lari. Kedua polisi jadi-jadian itu terus mengejarnya. Suara-suara yang memaksanya berhenti tak ia hiraukan. Ia hanya ingin pergi mencari kebebasan dari mimpi buruk yang menjajahnya, mencari jawaban hakiki dari kedewasaan. Ia tak boleh berhenti, barangkali di ujung jalan ini seseorang dapat menjelaskan jawabannya. Ia lihat secercah cahaya berpendar di sana. Sebuah harapan. Ia berusaha menggapainya, tapi sebuah letusan dan rasa perih di betis membuatnya terhenti.
“Jangan menyerah. Cahaya itu sudah dekat…”
Terpincang-pincang ia melangkah, sebuah letusan lagi terdengar. Sebutir peluru yang bersarang di punggung merenggut sisa-sisa kekuatannya. Ia tersungkur menghantam aspal.
Ia rasakan tangannya diringkus dengan borgol, lalu sebuah kaki memaksa tubuhnya terlentang. Dengan mata yang mulai lamur ia lihat dua orang polisi menatapnya dengan wajah yang puas. Tak lama ia lihat lagi empat orang polisi muncul menghampiri rekannya sambil tersenyum.
“Sepertinya tangkapan kita kali ini cukup besar!”
“Lihat yang kami temukan di kamarnya. Lima ons shabu-shabu dan tiga paket besar ganja!”
Mereka menatapnya dengan sangat kejam, lalu tertawa girang.
“Oh. Apa pula yang mereka bicarakan. Aku bukan orang yang seperti itu. Aku hanya orang biasa yang ingin bebas dari mimpi buruk. Sudahlah, bangunkan aku. Aku sudah lelah mengikuti permainan ini. Mimpi buruk ini sudah terlalu panjang…” Tapi….
Benarkah semua ini hanya mimpi buruk?
Ia tak kuasa lagi. Yang tersisa di tubuhnya tinggal rasa sakit. Kepalanya berpaling lirih. Di ujung jalan secercah cahaya itu masih nampak, berpendar, buyar, lalu sirna. Di sana ia lihat Deasy berdiri anggun dengan tersenyum.

Makassar 20 Maret 2003.

Tidak ada komentar: