Rabu, 17 Februari 2010

TAK PERNAH BISA

selalu ingin kulepas bayangmu
dari perjalanan hidupku
tapi setiap kali kebencian sesatkan langkahku
cintaku tetap tunjukkan arah

selalu ingin kulupakan senyummu
dari ingatan di kepalaku
tapi setiap kali amarah bakar benakku
sabarku tetap sejukkan suasana

selalu ingin kutepis suaramu
dari cerita asmaraku
tapi setiap kali emosi menutup pendengaranku
rinduku menggemakannya lebih merdu

selalu ingin kuhapus namamu
dari catatan sejarahku
tapi setiap kali luka memudarkan pesonamu
maafku memahatnya lebih dalam

selalu ingin kucari penggantimu
untuk mengisi ruang hatiku
tapi setiap kali ada yang mengetuk pintunya
semua tentangmu telah lebih dulu bersemayam di dalamnya

selalu ingin kembali padamu
untuk kesempatan kedua
tapi setiap kali hasrat itu menggoda
egoisku melarangnya dengan paksa

selalu ingin kau tetap jauh
tapi tak mampu aku berpisah
aku tak pernah bisa...

Denpasar, 17022010

Rabu, 04 Februari 2009

KALAH


setetes air jatuh
seirama detak jam
serangkum luka luruh
bersama keruh dendam

Makassar 10022004

Senin, 02 Februari 2009

BINGUNG


Kalau hatimu telah seluas samudera
Dan cintamu setenang pantainya
Apakah aku harus berlayar atau berlabuh?

Makassar 17012002

TANYA GADIS MALAM

Dia masih duduk di sana, di tembok yang menjadi batas antara laut dan darat kota makassar. Sendiri. Seperti malam kemarin, juga beberapa malam sebelum kemarin. Aku tahu sebab aku mengamatinya. Setiap kali keluar dari tempat kerjaku dia pasti telah ada di sana, duduk sendiri memandangi lautan dan mencumbui aroma malam. Terlihat begitu sepi di antara bising mesin motor dan riuh manusia yang rela menukar waktu tidurnya demi hasrat pemuasan jiwa-jiwa phobia mereka. Atau mungkin mereka manusia insomnia yang tidak merelakan waktu tidurnya dikuasai oleh setan-setan neraka yang tidak saja sebagai pemeran utama dalam mimpi buruk mereka, bahkan barangkali setan-setan neraka pula yang menjadi sutradara yang merekayasa mimpi-mimpi indah mereka.
Dia masih duduk sendiri di sana, tanpa peduli pada orang-orang yang berseliweran di sekitarnya. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara-suara, oleh temaram merkuri yang membentuk warna kekuningan di wajah-nya, oleh tabrakan aliran musik dari tip compo di setiap gerobak pedagang kaki lima. Dari gerobak yang menawarkan jajanan seafood berkumandang lagu dangdut.

“selamat malam duhai kekasih
sebutlah namaku menjelang tidurmu
bawalah aku dalam mimpi yang indah
di malam yang dingin sesunyi ini”*

Lalu dari gerobak pedagang minuman dan jus terdengar vokal sangar Bruce Dickinson punggawa grup musik cadas Iron Maiden, membawa kegelapan melejit menuju kehampaan yang misterius.

“fear of the dark. fear of the dark
i have constant fear that something’s always near
fear of the dark. fear of the dark
i have a phobia that someone’s always there”*

Tak ada yang bisa mempengaruhinya. Tak seorang pun yang mampu membuatnya meninggalkan sepi dan kesendirian. Tidak para pengamen yang datang silih berganti, tidak juga oleh pengemis-pengemis cilik yang menjulurkan tangan ke depan wajahnya yang bersemu warna kuning cahaya merkuri, bahkan mungkin tidak juga oleh setan-setan neraka yang menguasai mimpi manusia-manusia di sekitarnya.
Siapa yang peduli dengan mimpi-mimpi itu? Tak ada yang ingin duduk untuk sekedar mendengar cerita tentang mimpi, sebab setiap cerita tentang mimpi berujung pada pengetahuan bahwa mimpi hanyalah bunga tidur. Kembang bobo. Itu juga yang dikatakan ibuku dulu setiap kali aku ceritakan mimpi burukku. Tak ada mimpi yang dapat kau ingat setiap detailnya, karena itu tak ada mimpi yang benar-benar menjadi nyata.
Tapi menyaksikan dia duduk sendiri di sana seperti mengalami mimpi yang tiada habisnya. Slide demi slide mimpi terus saja berputar mempertunjukkan kejadian yang itu-itu saja.
Slide 1 : Dia masih duduk di sana, sendiri dan terlihat sangat kesepian.
Slide 2 : Dia masih duduk di sana, sendiri dan terlihat sangat kesepian.
Slide 3 : Dia masih duduk di sana, sendiri dan terlihat sangat kesepian.
Begitu saja seterusnya.
Dan aku masih berdiri di sini, menyaksikan rangkaian kejadian yang itu-itu saja hingga mampu mengurainya menjadi pertanyaan-pertanyaan: Siapa dia sesungguhnya? Mengapa dia terlihat begitu sepi? Apa yang dia cari dalam kesendiriannya di tengah keramaian ini? Ah… Perempuan itu telah berhasil menempatkan dirinya dalam lukisan malam sebagai obyek yang misterius. Tiba-tiba aku membayangkan berdiri di depan lukisan monalisa dan mencari-cari makna dari senyuman masterpiece itu. “Apa yang kau inginkan dengan melukis senyuman seperti itu, Tuan Da Vinci?” Aku tidak tahu, tapi aku tersenyum membayangkan seandainya Leonardo Da Vinci berdiri di tempatku menyaksikan perempuan itu, entah bagaimana dia menterjemahkannya.
“Mungkin kita sama penasarannya Tuan Da Vinci?!” Aku menggumam lirih.
“Ya. Aku juga penasaran seperti kamu.” Jawab Da Vinci ilusif.
Aku makin tersenyum. Aku harap Tuan Da Vinci ilusif tidak penasaran melihat senyumku.
Rasa penasaran itu menuntun langkahku menghampirinya dan mengambil tempat satu meter di samping kanannya. Dari sini dapat aku lihat dengan jelas wajahnya yang kekuningan oleh sinar merkuri. Matanya masih menerawang jauh ke depan, menembus malam, menyusupi angin, membawa pikirannya ke langit di ujung samudera dan sepertinya tidak peduli akan kehadiranku. Barangkali akan selamanya tidak peduli sampai aku berinisiatif menunjukkan kehadiranku.
“Malam menawarkan banyak hal yang berbeda pada kita, tapi kamu memilih keadaan yang jarang dipilih oleh orang lain. Apa kamu menikmati pilihanmu ini?” Aku memperhatikannya dan mengharap dia memberi tanda bahwa prolog ini bersambut. Tapi dia tidak bereaksi. Pandangannya masih tertuju pada obyek yang kemarin-kemarin, langit di ujung samudera itu, seolah ada suatu kesenangan di sana yang tidak pantas ditukar dengan menjawab pertanyaan retorikku. Sesungguhnya aku bukan lelaki yang mudah menyerah.
“Hai, namaku Aris. Apa aku boleh mengenalmu?” Aku memajukan tanganku ke arah tangannya, tapi dia tetap tidak bergeming. Aku biarkan tanganku menggantung beberapa detik di udara hingga aku putuskan untuk menariknya kembali, ada sedikit kekecewaan yang menyertai.
Ternyata hanya jasadnya yang ada di sini, sementara pikirannya melambung jauh entah kemana. Barangkali pikirannya itu ada di langit di ujung samudera tempat matahari senantisa terbenam dengan indah. Ada baiknya aku susul pikiran itu ke sana lalu menyeretnya kembali ke tubuh asalnya agar aku dapat mengobati rasa penasaranku. Tapi rupanya pikiran itu tidak ada di langit di ujung samudera, bahkan di segenap penjuru bima sakti pun tidak kujumpai pikiran itu. O, dimana gerangan pikiranmu itu berada, duhai Gadis? Rasanya ingin teriak memanggil, sayangnya aku tidak tahu siapa nama pikiranmu itu. Pencarianku sungguh sia-sia, aku kembali saja ke tubuhku.
“Apakah aku cantik?”
Aku dengar kamu bertanya lirih sesaat ketika pikiranku mulai menyatu dengan tubuhku. Ternyata pikiranmu telah kembali lebih dahulu, pantas saja tidak kutemukan dimana-mana. Dan sekarang kamu bertanya entah kepada siapa. Apakah kepada dirimu sendiri, atau kepadaku, atau kepada laut, atau kepada malam, atau kepada langit, atau kepada bintang, atau kepada kegelapan, atau kepada angin?
“Apakah aku cantik?”
Dia mengulang pertanyaan yang sama, aku anggap saja dia bertanya padaku dan bagiku itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Selama beberapa detik aku terdiam saja, sampai akhirnya kuputuskan menjawabnya.
“Aku bingung bagaimana harus menjawabnya, lagi pula aku tidak tahu jawaban seperti apa yang kamu harapkan. Sejujurnya aku tidak mau mengungkapkan kecantikan seseorang sebelum mengenalnya lebih dalam. Buat aku, fisik bukanlah ukuran kecantikan, tapi kecantikan sesungguhnya dari dalam sini.” Aku menutup jawaban dengan meletakkan tangan di dadaku. Angin datang mempermainkan rambutnya hingga menutupi sebagian pipinya, lalu dengan jari-jari tangan dia merapikan rambutnya itu dengan menyelipkan ke belakang telinga. Ada lesung tercipta di pipinya ketika dia tersenyum. Mungkin dalam hati dia berkata kalau jawabanku terlalu klise.
“Hampir semua lelaki yang datang padaku bilang kalau aku cantik, tapi tidak ada yang bertahan, mereka pergi setelah menikmati tubuhku. Sebagian ada yang kembali berkata aku cantik untuk menikmati tubuhku lagi dan setelah puas mereka pun menghilang. Tak seorang pun yang datang padaku menyatakan aku cantik dengan penuh rasa cinta, kedatangan mereka semata-mata untuk memuaskan nafsu binatang mereka. Bahkan suami ibuku pun bilang kalau aku cantik.”
“Maksud kamu, ayah kamu juga ikut menikmati tubuhmu?” Pertanyaanku membuat senyumnya berubah sinis dan matanya yang masih menerawang jauh ke langit di ujung samudera mulai basah. Lampu merkuri meredup.
“Apakah pria yang seperti itu pantas disebut ayah? Dia bukan manusia, hanya binatang yang memangsa anaknya sendiri!!” Ombak menampar bibir pantai. Malam semakin tua. Deru mesin motor meraung-raung menantang untuk berpacu. Dan perempuan ini dipenuhi amarah.
“Tapi darahnya terlanjur mengalir dalam tubuhmu!”
“Ayah itu bukan tentang kemampuan untuk membuat ibuku hamil yang lalu melahirkan aku, tapi tentang kemampuan untuk bertanggung jawab menafkahi, menghidupi, melindungi, dan menghargai isteri dan anaknya. Sementara dia… ibuku dipaksanya menjadi pelacur. Saat ibuku melayani lelaki lain, dia jadikan aku pengganti ibu di atas ranjang. Aku tidak berani melawan karena dia mengancam akan memenggal ibu di depanku sebelum memenggal aku. Aku hanya bias menangis dan memaki dalam hati.”
Sekarang air matanya terurai, sinar merkuri membuat butiran itu berkilau bagai berlian. Sekali lagi dia selipkan rambutnya ke belakang telinga. Ombak masih menampar bibir pantai dan menampar hatiku. “Betapa berat beban derita yang harus kamu tanggung, wahai Gadis!”
“Ketika ibu semakin tua dan hanya bias menghasilkan sepuluh ribu semalam, bajingan itu mulai menawarkan aku kepada teman-temannya, kepada om-om yang mau memodali hobby berjudi dan minum-minumnya. Sekali waktu aku bahkan dijadikan taruhan di meja judi, rasanya seperti makan buah simalakama; kalau bajingan itu kalah aku melayang, dia menang pun aku tetap melayang. Buat nambah modal katanya. Pernah aku coba kabur, tapi dia menemukanku. Sebagai hukuman atas usahaku itu, aku dan ibu diikat berdua dalam kamar mandi tanpa makan dan minum selama dua hari. Namun karena dia kehabisan duit, kami dilepasnya untuk melacur lagi.”
Malam bergetar oleh mesin motor yang berpacu. Musik dari tip compo para pedagang kaki lima tetap mengalun tindih menindih. Aku diam saja tanpa suara. Aku hanya bisa merasakan kepedihan yang kamu alami, melarutkan aku dalam suasana haru.
Perempuan itu menyeka air mata di pipinya lalu kembali menerawang jauh ke tempat matahari senantiasa terbenam dengan indah. Dia terdiam, aku terdiam. Aku kira saat ini dia tidak butuh teman berbicara, yang dia butuhkan hanya seorang yang bersedia mendengar kisah hidupnya, seorang tempat membagi beban kepedihan yang pasti sulit ditanggungnya sendiri. “Ceritakanlah padaku kepedihan dan kepedihanmu itu, duhai Gadis. Aku akan di sini menjadi pendengar yang baik sampai kamu merasa lega.”
“Kamu merokok?” Dia berpaling padaku dan bertanya. Untuk pertama kali dia mengalihkan pandangannya dari langit di ujung samudera sehingga membuatku bisa melihat wajahnya dengan sempurna. Wajahnya cukup menarik, sayang banyak kegetiran hidup bersembunyi di balik wajah itu.
“Aku tidak merokok, tapi kalau kamu mau, aku bersedia membelikan untukmu!”
Dia menggelang.
“Aku juga tidak merokok, dan aku benci orang yang merokok. Setiap kali bajingan itu merokok, puntungnya dimatikan di sini.” Dia menarik lengan jaket denimnya ke atas, memperlihatkan tangannya yang hampir penuh dengan bekas luka bakar sundutan rokok. Aku jadi ngeri membayangkan kekejaman pria yang disebutnya sebagai bajingan dan binatang itu.
“Ini perlakuan bajingan itu untuk menunjukkan kalau dia tidak segan-segan menyiksa aku jika aku melawan keinginannya. Untungnya kini aku bukan asbaknya lagi. Aku sudah bebas dari bajingan itu, dan dia tidak akan mengganggu hidupku lagi. Sekarang aku benar-benar merasa lepas.” Ada perubahan di wajahnya, seperti ada kelegaan yang terpancar meski sisa-sisa air mata belum mengering seluruhnya.
“Bagaimana kamu bisa lepas dari lelaki itu?”
“Aku positif HIV.”
Aku terkejut mendengar pernyataannya. Aku beringsut menjauh beberapa sentimeter. Dia tersenyum melihat aku mencoba menciptakan jarak baru dengannya. Aku jadi merasa telah melakukan hal yang negatif secara refleks.
“Maafkan aku! Tapi menurut aku, HIV bukan sesuatu yang pantas untuk membuatmu merasa lega?!”
“Ketika dokter memvonis aku terinfeksi virus HIV, aku merasa benar-benar hancur. Tapi ternyata penyakit inilah yang menolongku. Waktu bajingan itu tahu aku positif HIV, dia mengusirku dari rumah. Dia takut jika aku tinggal dengannya dia akan tertular. Dia benar-benar membuang aku dari kehidupannya. Baginya aku tidak berguna lagi, aku bukan lagi mesin uangnya, karena tidak ada orang yang mau membayar untuk ditulari penyakit ini. Aku pergi. Saat itulah untuk pertama kali aku merasa memiliki kehidupanku sendiri, bebas dari bayang-bayang bajingan itu. Penyakit ini mengangkat derajatku menjadi manusia seutuhnya. Aku bersyukur kepada Tuhan atas penyakit ini. Jika Tuhan menjadikan HIV ini sebagai jalan, Tuhan pun pasti tahu kearah mana jalanku menuju.”
Malam beranjak menuju pagi. Sinar bulan dipantulkan oleh air laut. Angin masih betah mempermainkan rambutnya. Para pedagang kaki lima mulai mengemas gerobaknya. Satu babak drama kehidupan telah aku dengar, tentang penderitaan purba perempuan dari masa lalu yang hanya mereka yang teruji yang mampu melalui penderitaan itu. Kamu mungkin salah satu diantara mereka. Untuk cerita hidupmu aku hanya bisa menjadi pendengar, karena aku sama sekali belum mengerti makna hidup, sedang kamu sendiri telah tahu kemana tujuan hidupmu. Aku harap suatu saat nanti kisahmu dapat aku ceritakan kepada dunia, meski kosa kataku tidak akan mampu menggambarkan penderitaan dan ketabahanmu.
Garis fajar telah hadir di langit, kami berdua menatapnya. Sudah saatnya aku meninggalkanmu untuk mencari tujuan hidupku sendiri.
“Aku harus pergi. Ini kartu namaku, di sini ada alamat dan nomor telepon yang bisa kamu hubungi. Aku harap kamu bersedia menjadikan aku sahabatmu.” Aku menyusupkan sehelai kartu nama ke sela jemarinya dan dia langsung memasukkan ke saku jaketnya.
Terima kasih untuk kesediaanmu menjadi sahabatku malam ini dan untuk tidak berkata kalau aku cantik.”
“Mudah-mudahan persahabatan kita bukan hanya untuk malam ini, besok kita mungkin bisa bertemu lagi.”
“Ya. Selalu ada harapan sebelum Tuhan memanggilku.”
“Semoga ketika Tuhan memanggilmu, Tuhan berkata bahwa kamu cantik. Dan kamu tahu Tuhan bukanlah lelaki.”
Dia tersenyum dan mengangguk perlahan.
Aku memutar tubuh dan berdiri, melangkah menyeberang jalan. Di seberang aku sadar kalau aku belum tahu namanya. Aku berpaling menatap ke arahnya. Perempuan itu telah berdiri dan siap pergi. “Biarlah aku tahan dulu keinginanku untuk tahu namamu.”
Adzan subuh bersahut-sahutan di langit Makassar saat perempuan itu melangkah pergi.

Makassar 13032003-25042006

YANG TERSEMBUNYI

Lidah-lidah waktu memanggil
Segeralah mencari seorang kekasih
Jangan sampai malam kembali menyembunyikan cahaya dalam tirai hitam dan pekat
Lalu menggulungmu dalam selimut syahwat menegang tertahan
Lidah-lidah usia mendesak bertanya
Berapa lama senyap berkuasa mengekang?
Ataukah selamanya hanya mesti
Sebagai pijar lilin dalam gudang es di musim bersalju
Suara-suara merdu dan wajah ayu
Senyum penuh harap
Masih harus menunggu
Sebagai siluet di jendela kaca yang berembun

Makassar 09022004

(3) KELAHIRAN KEMBALI

kususuri waktu dan terus menghitung hidup
ke suatu masa, awal sejarah menjadi
di sinilah aku memulai
lahir, hidup, menunggu, mati

Makassar 06022004